Oleh: Lidiyawati Harahap SSi, SPd
Pemilu 2019 tinggal menghitung bulan. Hari dimana semua rakyat
Indonesia akan ikut menentukan nasib bangsa ini. Rakyat akan memilih presiden
dan wakil presiden, DPRD RI dan daerah, DPD. Mereka wakil-wakil yang akan
membawa dan memperjuangkan aspirasinya demi terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Dan lagi, keterwakilan perempuan dalam berpartisipasi dalam
pemilu akan menjadi perbincangan. Sejak diterbitkannya Undang-Undang nomor 2
tahun 2008 tentang partai politik yang salah satu pasalnya mewajibkan 30 %
perempuan dalam kepengurusan partai politik.
Pasal ini menjadi suatu jaminan bagi perempuan untuk ikut
berpartisipasi dalam dunia politik. Namun belum semua pihak melaksanakan peraturan
tersebut karena banyak faktor yang menyebabkannya. Pemerintah pun kembali merevisi
dan mensyahkan undang-undang pemilu terbaru yaitu Undang-Undang no 7 tahun 2017.
Dalam undang-undang ini kuota 30 % keterwakilan perempuan
harus meliputi pembentukan badan penyelenggara pemilu, pencalonan verifikasi partai
politik pemilu dan pencalonan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPRD.
Konsekwensinya adalah masing–masing partai harus
mempunyai bakal calon legislatif perempuan minimal sebanyak 30 persen. Bila partai
tertentu tidak mampu memenuhi kuota ini maka penyelenggara pemilu akan mengurangi
jatah caleg laki – laki yang akan ikut dalam pemilihan. Hal ini akan menjadi permasalahan
yang cukup rumit bagi badan penyelenggara pemilu dan partai politik.
Mengapa tidak? Pemenuhan kuota ini tidak seimbang dengan jumlah
perempuan yang ingin berpartisipasi di bidang politik. Dan menjadikan seorang perempuan
yang siap terjun ke dunia politik dan mempunyai kapasitas yang baik bukan perkara
mudah. Namun penekanan ini menjadi peluang besar bagi pemberdayaan perempuan di
bidang politik. Semua pihak yang terkait dalam pemilu akan menempatkan perempuan
pada prioritas utama. Dan akan bekerjasama dalam meningkatkan kapasitas
perempuan terutama di kepengurusan partai politik baik tingkat daerah maupun
pusat.
Suara perempuan di parlemen sangat dibutuhkan. Ada banyak
alasan yang mendasar mengenai hal ini. Titi Angraini, manager eksekutif Perludem,
mengatakan bahwa alasan perempuan harus terlibat adalah untuk kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan di bidang politik, menawarkan model peran keberhasilan politisi
perempuan, mengindentifikasi kepentingan – kepentingan khusus perempuan yang
tak terlihat, menekan adanya perbedaan hubungan perempuan dengan politik.
Partisipasi perempuan dalam dunia politik akan meningkatkan
kualitas perpolitikan di Indonesia. Sedangkan keterlibatan perempuan di badan
penyelenggara pemilu bertujuan untuk meningkatkan partisipasi para perempuan dalam
memilih.
Perempuan-perempuan yang terlibat di penyelenggara pemilu
akan menjadi model sekaligus mengedukasi perempuan lainnya. Bahwa perempuan mampu
berpartisipasi dalam politik. Bila para perempuan telah menyadari hal itu, maka
angka partisipasi perempuan pemilih akan meningkat. Selain itu, pemerintah juga
membutuhkan suara perempuan dalam pembentukan undang-undang, penyusunan
anggaran, serta pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Dalam rangka
mewujudkan pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mengapa sulit sekali mendongkrak perempuan berpartisipasi
dalam pemilu? Banyak sekali faktor yang menjadi kendala. Apalagi untuk mencapai
kuota 30 % keterwakilan perempuan di parlemen. Antara lain, rendahnya kualitas sumber
daya manusia sebagian besar kaum perempuan, jumlah kaum perempuan yang memiliki
kapasitas yang baik di bidang politik sangat terbatas, kurangnya kepercayaan diri
untuk bersaing dengan kaum lelaki.
Budaya masyarakat Indonesia yang menganggap tugas perempuan
hanya mengurusi rumah. Ditambah lagi besarnya ongkos politik yang akan
dikeluarkan dalam pencalonan. Selain itu, rasa trauma akibat gagalnya pada pemilihan
sebelumnya, kasus–kasus korupsi yang menjerat perempuan sangat mempengaruhi kepercayaan
publik terhadap perempuan. Hal ini juga akan berdampak pada dukungan di
kalangan perempuan itu sendiri.
Mengingat pentingnya keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif,
maka sudah seharusnya organisasi–organisasi perempuan yang ada di Padang Lawas
Utara memberi perhatian besar terhadap masalah ini. Salah satunya adalah Forum
Alumni HMI-wati Padang Lawas Utara yang disingkat Forhati Paluta. Forhati
Paluta dibentuk pada tahun 2016 yang lalu.
Lembaga ini beranggotakan perempuan –perempuan alumni
Himpunan Mahasiswa Islam yang telah terdaftar dalam lembaga tersebut. Visinya adalah
terwujudnya Forhati sebagai organisasi yang berkiprah nyata pada perjuangan perempuan
Indonesia menuju masyarakat dan bangsa yang adil, mandiri dan bermartabat.
Sesuai visinya, Forhati Paluta berperan aktif dalam
memperjuangkan hak - hak perempuan. Salah satunya, hak dalam berpolitik. Hak tersebut
antara lain hak memilih dan dipilih. Dalam Pemilihan Umum tahun 2019 nanti, setiap
perempuan mempunyai hak untuk memilih atau dipilih sebagai wakil-wakil rakyat
sesuai ketentuan dalam undang-undang pemilu.
Sayangnya, belum seluruh perempuan menyadari hak-hak itu.
Langkah yang tepat untuk mengatasinya adalah memberikan pendidikan politik bagi
perempuan –perempuan di Padang Lawas Utara. Dalam upaya itu, Forhati Paluta harus
berkerjasama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Paluta serta organisasi perempuan
yang berada di tubuh partai.
Dengan pendidikan ini, perempuan – perempuan Paluta akan
belajar dan paham tentang hak, kewajibannya dan tanggung jawab setiap warga
negara dalam berbangsa dan bernegara. Pengetahuan ini akan melahirkan orang
–orang yang berkapasitas dan memiliki arah dalam perbaikan bangsa dan negara.
Bentuk–bentuk pendidikan ini bisa dilakukan dalam bentuk keteladanan, penyuluhan,
pelatihan dan lain-lain.
Dalam mensukseskan pemilihan umum nanti, Forhati Paluta mengambil
peranan penting. Terutama dalam upaya mewujudkan 30 % keterwakilan perempuan di
lembaga legislatif. Langkah-langkah strategis antara lain merencanakan dan menyalurkan
kader-kader terbaiknya untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemilu dan
pencalonan legislatif baik di tingkat daerah maupun pusat. Melakukan
sosialisasi terhadap perempuan- perempuan pemilih akan hak politiknya yaitu
memilih dan dipilih. Ketika hak ini disadari oleh masing-masing perempuan di
Padang Lawas Utara, maka solidaritas perempuan pemilih untuk mendukung 30
persen keterwakilan perempuan di parlemen akan terwujud.(*)
(Penulis adalah Sekretaris
Umum Forum Alumni HMI-wati Paluta)