Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur, HNSI Sumut Anggap Tidak Tepat

Sebarkan:

Nelayan Pantailabu Kabupaten Deliserdang hendak melaut ke selat Malaka.

DELISERDANG |
Pemerintah melalui Kementerian Kelautan Perikanan telah menyusun rancangan Peraturan Pemerintah tentang penangkapan ikan terukur yang rencananya akan diterapkan mulai Tahun 2022 dengan dalih untuk menata kembali perikanan tangkap di Indonesia supaya lebih tertib, serta dapat memberikan dampak ekonomi.

Aturan penangkapan ikan terukur oleh KKP dianggap merupakan terobosan dalam pengelolaan perikanan yang lebih akurat dengan pengendalian kuota penangkapan pada zona perikanan terukur. Implementasi perikanan terukur diprediksi akan mendatangkan banyak manfaat baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi.

Sementara itu, Rencana Pemerintah melalui Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) tentang aturan penangkapan ikan terukur yang akan dilaksanakan di beberapa wilayah dianggap tidak tepat oleh Himpunan Nelayan Sumatera Utara.

Disebutkan oleh Ketua HNSI Sumut, Zulfahri Siagian saat dimintai tanggapannya terkait kebijakan itu, Sabtu 2/04/2022 menyebutkan, rencana penangkapan ikan terukur dilaksanakan di beberapa WPP NRI, belum seluruh WPP NRI. Sedangkan di Sumut ada 2 WPP NRI, yaitu 571 Selat Malaka dan 572 Sibolga Nias. Bahwa untuk WPP NRI 571 tidak ikut program penangkapan Ikan Terukur.

"Konsep Menteri KKP melakukan kebijakan penangkapan Ikan Terukur, masih belum tepat, karena penangkapan ikan tidak bisa diukur dan tidak ada jaminan nelayan (kapal ikan) berangkat ke laut sudah pasti mendapatkan hasil sesuai prediksi," ucap Zulfahri.

Zulfahri mengatakan, program tersebut belum mempertimbangkan banyaknya kendala yang bisa terjadi, di antaranya lokasi penebaran jaring namun tidak mendapatkan hasil, bencana alam seperti ombak, kerusakan  mesin maupun peralatan lainnya.Untuk perbaikan kapal itu bisa memakan waktu lama, saat saat musim paceklik tangkapan, itu juga persoalan yang kerap dihadapi Nelayan.

"Harusnya saat ini KKP bisa lebih konsentrasi dengan sumber daya ikan yang terus menurun, bahwa ikan berkembang biar (menetaskan telur) di lokasi pantai yang mempunyai mangrove maupun rumpun/rumah ikan, sedangkan pembuatan rumpon (rumah ikan) belum menjadi prioritas, masih sebatas buatan nelayan yang tidak memadai," sebut Zulfahri.

Ketua HNSI Sumut ini juga mengaku sangat prihatin melihat situasi yang terus terjadi dimana  tepi pantai saat ini sudah tercemar limbah baik industri maupun masyarakat seperti sampah. Perubahan fungsi hutan mangrove menjadi pantai wisata, pemukiman dan lainnya.

Kondisi pesisir pantai yang tidak bersih dan asri tentu saja menghambat menetasnya telur ikan.Harusnya KKP lebih dapat menggandeng Kementerian lingkungan hidup untuk mengatasi limbah tersebut . Di Sumut sudah lama sekali tidak dilakukan penelitian sumber daya ikan, hitungan sumber daya ikan yang ada belum terdata dengan jelas.

Belum lagi pungutan hasil perikanan yang semakin tinggi membuat nelayan dirugikan mengingat pendapatan nelayan didasarkan UU bagi hasil perikanan no.16 tahun 1964.Hasil penjualan dikurangi biaya operasional didapatkan hasil bersih yang kemudian di bagi antara nelayan dengan pemilik.

"Semakin besar biaya operasional maka akan semakin kecil pendapatan nelayan atau biaya operasional tersebut ikut ditanggung nelayan, inilah persoalan sebenarnya yang harus diprioritaskan untuk dibenahi agar nelayan khususnya Sumut ini dapat lebih baik dalam peningkatan ekonomi," tegas Zulfahri.(wan)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini