" MENCINTAIKU BERARTI MENCINTAI DAN MEMAHAMI IBUKU ”

Sebarkan:

 



Oleh : Dr. Elisabet Situmeang, SpKJ

(Psikiater RSUD Tarutung)


Sehari-hari mungkin kita sering mendengar istilah ‘baby blues’. Secara singkat, baby blues adalah kondisi gangguan psikis (kejiwaan) ibu yang tidak stabil beberapa saat setelah melahirkan. 


Gejalanya antara lain seperti cemas, selalu lelah, gelisah, gampang menangis, rasa tidak perduli pada bayi. Baby blues yang tidak teratasi dapat berkelanjutan menjadi Depresi.

 

Dari berbagai hasil penelitian, sangat jelas bahwa penyebab kondisi ini adalah faktor HORMONAL DAN PSIKOSOSIAL. 

Ketidak stabilan hormon sangat mempengaruhi emosi. Naik turunnya hormon ini dimulai saat memasuki kehamilan hingga melahirkan dan pasca melahirkan. 


Beberapa saat setelah melahirkan, beberapa hormon yang ada pada wanita meningkat, mengakibatkan wanita tersebut sangat energik, bahagia, bersemangat dan tidak kenal lelah. Namun, pada hari ke 3-4 setelah melahirkan, beberapa hormon ini akan menurun secara drastis, sehingga rentan mengalami depresi. 


Proses  ini adalah proses alami yang terjadi, tidak bisa ditolak oleh siapapun. Jadi tanpa ada konflik atau stressor apapun, wanita tersebut sudah sangat rentan mengalami depresi. Meskipun tingkat kerentanan antara satu dan lain individu tidak selalu sama.

Selanjutnya masalah Psikososial, termasuk di dalamnya stress dari lingkungan sosial. Penyebab stress yang paling sering terjadi umumnya malah berasal dari orang terdekat. Beberapa pasien yang pernah konsultasi pada saya seringkali mengeluhkan tidak adanya perhatian dan bantuan dari suami dalam mengurus bayi. 


Alasan klasik yang sering disampaikan suami adalah ‘saya capek kerja, kamu kan di rumah saja. Saya bekerja mencari uang kan untuk kamu dan anak’. Kemudian berdalih bahwa rumah adalah tempatnya beristirahat, sehingga tanpa mengambil alih tugas apapun, duduk santai bermain HP, membaca berita. 


Sementara si ibu yang sedang dalam kondisi sensitif ditambah kelelahan setelah berhari-hari hanya mengurus bayi, hanya bisa diam. Karena acapkali, jika protes akan lebih terpojok karena akan menerima komentar ‘kamu ini bukannya bersyukur, kenapa terus mengeluh mengurus bayi sendiri?’

Kondisi diperberat dengan istri yang mungkin malam hari pun harus mengatasi kerewelan bayi seorang diri. 


Mengganti pampers dan memberi ASI. Sebagian ayah tak merasa perlu ambil bagian dalam proses pemberian ASI akan melanjutkan tidurnya dengan lelap. Sementara yang dilakukan ibu bukan hanya menyusui, mungkin dia juga mengganti popok bayi. 


Andai saja ayah membantu mengganti popok bayi, mungkin waktu beberapa menit bisa digunakan ibu untuk menghela nafas sesaat. Atau mungkin ayah mengambilkan minuman hangat, memijit ringan kaki ibu, sungguh sangat bermakna untuk ibu. 


Pada seseorang dengan kondisi sakit atau mungkin pasca operasi sakit tertentu, kemudian bisa istirahat dengan tenang, berbeda dengan ibu melahirkan yang nyaris tidak mungkin untuk istirahat tenang, otomatis pasti kondisi fisik akan melemah dan tentunya akan mempengaruhi psikis.


Next, kita melangkah ke pengaruh orang lain yang menimbulkan stress. Disini saja saya buat petikan beberapa komentar yang seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari.


“Kamu lahiran operasi? Emang ya zaman sekarang enak, gak mau susah lagi. Gak capek ngedan, enak2 aja langsung lahir’

“Waah, anaknya ‘perempuan/laki-laki’ *lagi*

“Ya ampun, anakmu kecil bangeeet” 

“Anakmu lucu ya, kok sama kamu nangis terus?”

“Sudahlah, ASI mu gak ada, ngapain maksa, Sufor ajaaa”

“Ya ampun kamu kok jadi pemalas banget ya, baru anak satu. Perasaan dulu orang2 anak sampe sepuluh/sebelas/dua belas pun bisa tangguh, gak ngeluh capek’ 

Mungkin banyak lagi di keseharian, komentar yang pernah teman-teman dengarkan, namun 

belum saya tuliskan.


Namun sebelum menitipkan pesan untuk pembaca yang berada di lingkungan ibu pasca melahirkan, saya juga ingin menitipkan pesan untuk seluruh ibu pasca melahirkan dimanapun berada…

Persiapkan diri sebelum lahiran, kuatkan hati, siapkan mental untuk menerima hal terberat sekalipun. Terlalu khawatir dengan proses lahiran dan proses mengurus bayi baru lahir tidak baik, tetapi anggap enteng juga tidak boleh. Segera setelah lahiran, jika ada keluhan atau hal yang membuat tidak nyaman, segera bicarakan dengan orang terdekat, yang bukan hanya dekat secara hubungan tetapi utamanya dekat secara hati dan orang yang cukup dewasa.

 

Kemudian, yang tidak kalah penting adalah, ‘tetaplah mencari waktu untuk dirimu sendiri’. Ini akan terlihat sulit untuk kita yang hidup di kultur timur, karena ibu pasca melahirkan yang mencari waktu untuk sendiri acapkali dikatakan bukan ibu yang baik. Tutup telinga saja dengan komentar – komentar sebagian orang yang masih berpikir primitif. 


Tetap cari apa yang membuatmu nyaman, selama tidak membahayakan. “BAHAGIAMU, KAMU YANG BUAT”.


Untuk semua pembaca artikel ini, mari kita jaga lisan kita terhadap orang lain. Orang yang sedang di hadapan kita itu sedang rapuh, apakah merupakan sebuah prestasi untuk kita jika kita mengeluarkan kata-kata yang membuat kondisi seseorang menjadi sakit? Dan kemudian jika sesuatu terjadi karena lisan kita yang mengakibatkan si ibu semakin depresi sampai mencelakai bayinya, dengan entengnya kita berkata ‘dasar ibu tak berperasaan, tak punya iman, kok tega, dasar sadis’. 


Padahal tanpa kita sadari, kita sudah ambil bagian dalam menyebabkan si ibu melakukan hal mengerikan itu.

Ironisnya tekanan pada wanita pasca melahirkan malah sering dating dari sesama kaum hawa. Dengan gaya heroiknya, seringkali wanita yang merasa lebih berpengalaman akan mengatakan ‘ah dulu aku ngurus 10 anak berjejer-jejer umurnya bisa kok. Manja amat’. 


Padahal sebenarnya dahulu saat menjalani juga boleh jadi si ibu tersebut mengalami keluhan yang mungkin tak disadari atau manifestasi nya ke dalam bentuk lain. Waktu memang terus berjalan, tapi banyak peristiwa yang harusnya diingat dan dijadikan pelajaran hidup untuk kemudian bisa membantu orang lain yang mengalami hal yang sama.


Mari kita pahami kondisi ibu dan lakukan apa yang sanggup kita lakukan, pahami kondisi psikisnya. Mencintai dan memperhatikan bayi mungkin tampak mudah buat kita, tapi belum tentu mudah memperhatikan ibunya. Padahal tanpa kita sadari, memperhatikan dan memahami ibunya secara tidak langsung adalah wujud cara kita mengasihi bayi tersebut. 


Memahami ibunya membuat ibu semakin bahagia dan akan semakin bersemangat membagi kasih pada sang bayi. Andai si bayi bisa berbicara dan paham, mungkin dia akan mengatakan…


‘MENCINTAIKU BERARTI MENCINTAI DAN MEMAHAMI IBUKU’

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini