Pasang Surut Ekonomi RI: Booming Harga Minyak Sampai Wabah Corona

Sebarkan:
Ilustrasi
JAKARTA. | Ekonomi Indonesia sempat mengalami pasang surut di 75 tahun usia kemerdekaan ini. Setelah Proklamasi Indonesia dibacakan Sukarno-Hatta, kinerja ekonomi Indonesia tidak langsung gemilang.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Periode 2013-2019 Mirza Adityaswara menjelaskan Indonesia periode 1970-1980 perekonomian Indonesia dipengaruhi oleh harga minyak.

Pada tahun 1974 kenaikan harga minyak mencapai 481% dari harga rata-rata periode 1960. Dengan harga US$ 11,6 per barel dan penjualan mencapai 1.375 barel per hari.

Lalu masuk periode 1979 booming harga minyak kembali terjadi dengan kenaikan harga hingga 286% dari rata-rata 1970an. Harganya mencapai US$ 31,6 per barel dengan penjualan 1.590 barel per hari.

"Karena boom harga minyak, maka saat itu Pertamina berjaya, tetapi kemudian Pertamina ekspansi ke berbagai sektor dan kemudian terlibat krisis utang Pertamina," kata dia saat dihubungi, Kamis (13/8/2020).

Mirza mengatakan, pada periode 1980-1990 harga minyak berangsur turun. Hingga kemudian Indonesia kelabakan dan harus putar otak mencari sumber ekspor baru dan sumber penerimaan baru, yakni membidik sektor non migas.

Nah dari sinilah dimulai pada 1983 dilakukan berbagai deregulasi ekonomi Indonesia menuju sektor non migas. Pada 1988-1990 dilakukan deregulasi ekonomi menuju ke sektor non migas, diluncurkan paket deregulasi perbankan, deregulasi asuransi dan deregulasi pasar modal di periode 1998-1990 dan saat itu booming pasar modal.

Karena deregulasi tersebut era 1983-1990 untuk mendorong sektor non migas maka ekonomi Indonesia melesat dan booming hingga 1997.

"Bahkan disebut sebagai overheating di periode 1995-1997. Di tahun 1998 Indonesia terkena krisis Asia, yaitu negara 'The Tiger of Asian'," ujar dia.

Negara tersebut antara lain Indonesia, Thailand, Malaysia, Korea Selatan mengalami krisis kurs karena investor khawatir dengan current account deficit (CAD) dan utang luar negeri serta governance sektor keuangan.

Pada periode tersebut, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hingga 13%. Industri perbankan bangkrut sehingga harus dilakukan bantuan likuiditas dan rekapitalisasi perbankan besar-besaran mencapai 70% PDB Indonesia.

"Ekonomi baru bisa bangkit lagi setelah enam tahun dari krisis 1998 yaitu periode 2004-2007," ujar dia.

Menurut dia, krisis yang terjadi pada 1998 murni disebabkan oleh sektor keuangan. Ini artinya setelah 22 tahun, baru kali ini pada 2020 Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, tapi penyebabnya adalah krisis sektor kesehatan. Namun kondisi saat ini angka inflasi nasional sudah terkendali di bawah 5%.

"Namun stabilitas exchange rate masih menjadi tantangan bagi Indonesia karena masalah Current Account Deficit (defisit impor barang dan jasa) belum bisa kita atasi," ujarnya. (Dc)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini