Mental Entrepreneur Terbentuk dari Ekosistem Kampus

Sebarkan:


Oleh : Bery Manurung

Seberapa besar kita yakin bahwa masa depan dapat diwujudkan dengan sebuah cita-cita? Sejarah membuktikan, bahwa beberapa orang yang menjadi pemimpin perusahaan global dilahirkan dari ekosistem institusi pendidikan sehingga tajam dan jeli menganalisa peluang menjadi sebuah perusahan besar berpengaruh dunia. Pun, memiliki mental entrepreneur sehingga perusahaan lebih sustanaible merajai pasar.

Kita bisa melihat, bagaimana seorang pendiri perusahaan Tesla (mobil listrik) Elon Musk (Pennsylavania) melihat sebuah trend kendaraan dunia di masa depan adalah dengan menggunakan tenaga listrik mengingat sumber daya minyak yang semakin menyusut. Bukan saja memberikan solusi alternatif berkendara namun juga memiliki efek dalam mengurangi polusi sehingga paling tidak membantu dunia lebih green.

Kita juga tentu masih ingat, bagaimana seorang Bill Gates (Harvard) memiliki sebuah visi masa depan, dengan meyakini bahwa saat kelahiran Microsoft saat itu, memproyeksi di masa depan akan wajib setiap rumah akan memiliki Personal computer (PC). Hampir semua pakar teknologi dan IBM “Big Blue”, sebagai perusahaan raksasa PC ketika itu tidak jeli dan cekatan membaca ramalan dari anak muda yang masih “bau kencur” dalam dunia perangkat lunak.

Dan, tentu saja 2 hal yang fenomenal pada masa sekarang, bagaimana seorang Steve Jobs (Stanford), menjadikan Smartphone sebagai sebuah gaya hidup dan budaya baru global, padahal sebelumnya alat komunikasi serupa sudah hadir di awal-awal milenium.

Kita pun hanya dapat terkagum-kagum bagaimana seorang anak muda dari universitas jeli melihat kesempatan, yang uniknya, pada mulanya adalah sebuah keisengan membuat sebuah website perkenalan mahasiswa dalam sebuah komunitas mahasiswa dan meluas menjadi sebuah raksasa media sosial yang digandrungi semua usia dan menjadi sebuah platform inovasi teknologi yang merubah budaya manusia di muka bumi dalam berkomunikasi, berbisnis bahkan berpolitik. Padahal, sebelum Facebook mencuat, sudah pernah muncul terlebih dahulu platform media sosial yang serupa namun abai akan potensi gigantisnya.

Tokoh-tokoh perubahan di atas, mengingatkan kita, bahwa sebuah transformasi besar yang mengubah dunia bukanlah kebanyakan berawal dari orang-orang yang memiliki ide brilian atau orisinal dari diri mereka. Peluang itu terlihat dari kegigihan, inovasi dan jeli melihat permasalahan sosial sehingga menciptakan alat yang mempermudah aktivitas manusia. Soft skill tersebut tidak lain adalah karakter kepemimpinan yang membentuk mindset entrepreneur. Mental entrepreneur perlu terus di perkenalkan dan dikembangkan khususnya menyasar kaum muda karena generasi zaman now memiliki energi semangat yang lebih besar dan responsif dalam mewujudkannya karena lahir dalam gelombang inovasi teknologi serta berani menanggung risiko dalam mewujudkannya.

Di Indonesia sendiri, beberapa perusahaan startup banyak lahir dari generasi muda terkait inovasi teknologi bahkan sebagian besar mendisrupsi banyak perusahaan konvensional. Sebut saja, platform Ruang Guru, yang mempermudah pembelajaran siswa. Perusahaan Gojek yang mampu merubah kebiasaan publik dalam transportasi dan membantu menciptakan ekosistem keuangan digital alias cashless. Bukankah jika kita amati, core bisnis dari kedua perusahaan tersebut sesungguhnya tidak asing dalam kehidupan sosial ? Siapa sih yang tidak pernah kursus di lembaga pendidikan konvensional ? Di lingkungan warga mana ojek pangkalan tidak pernah kita temui ? Hampir semua daerah di Indonesia selalu ada ojek ngetem menunggu penumpang apalagi berada di kota besar yang padat dan macet. Namun, segala permasalahan dan potensi gigantis di atas terlewat dan diabaikan berpuluh tahun, tanpa terlihat ada inovator brilian menangkap peluang dari permasalahan yang dianggap “sepele”. Kini, publik pun mengakui dan manggut-manggut menjadi user setia dari platform tersebut karena lebih murah, gampang diakses dan efisien.

Semakin krusialnya peran muda untuk berkontribusi menggejot laju ekonomi Indonesia, khususnya mencetak entrepreneur handal sesungguhnya bisa di pelajari dengan tahapan tertentu. Dan, sebenarnya embrio entrepreneur dapat dilahirkan lebih massif lagi dalam ekosistem lembaga pendidikan khususnya Perguruan Tinggi (PT) Vokasi atau biasa juga disebut dengan politeknik.

Mengapa pula harus Politeknik? Selain model pembelajaran yang lebih menitikberatkan pada praktik daripada teori yaitu 70 persen berbanding 30 persen, kompetensi jebolan politeknik sangat relevan menjadi rekomendasi bagi siapa saja yang serius ingin mengantongi skill siap pakai dalam dunia usaha dan industri sekaligus juga membangun kepribadian berkarakter entrepreneur.

Pada beberapa kampus Politeknik, bahkan mewajibkan mata kuliah khusus entrepreneur dengan modul spesifik yang diadaptasi dari lembaga-lembaga kewirausahaan internasional dan banyak pula bekerjasama dengan kampus mancanegara yang terbukti melahirkan banyak entrepreneur seperti MIT, Harvard, Stanford dan lain-lain. Target utamanya tentu saja agar mahasiswa dan mahasiswi ketika nantinya lulus dari pendidikan tidak hanya sekedar memiliki kompetensi yang merujuk pada dunia industri saja, namun juga berani menuntaskan ide, gagasan dan kreatifitas menjadi sebuah bisnis di tengah masyarakat. Dengan terbentuknya perusahaan, maka secara langsung juga akan mendukung program pemerintah mengurangi pengangguran. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Pemerintah juga tahun ini sepertinya membaca tren perubahan zaman generasi zaman now yang terlihat responsif terhadap perkembangan inovasi teknologi dan dunia kewirausahaan. Tidak tanggung-tanggung, Kementerian pendidikan langsung bergerak untuk memacu produktivitas lembaga pendidikan Vokasi menelurkan jebolan profesional yang berkompetensi dan menguasai soft skill pendukung (kepemimpinan, komunikasi, manajerial) agar mempunyai mindset entrepreneur dengan membentuk badan khusus Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi yang secara bertahap akan merealisasikan 40 program. Harapannya, jebolan vokasi dapat lebih diterima dunia usaha dan industri sekaligus. Pun, dipersenjatai dengan anggaran besar sekitar Rp 3,5 Triliun !. Tentu saja, anggaran tersebut perlu dihabiskan segera dengan target krusial mencetak generasi muda lebih produktif dan berani menjadi agent of change di tengah masyarakat. Perjalanan seribu mil, dimulai dari satu langkah pasti. Semoga Politeknik menjadi lompatan dan manuver gesit mempersiapkan talenta generasi muda di Indonesia sehingga agresif mendorong laju ekonomi hingga ke akar rumput.(penulis adalah pengamat isu sosial)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini