Salah satu lokasi hutan mangrove yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit diduga tanpa memiliki izin resmi dari pemerintah di Desa Pintu Air, Kec. Pangkalan Susu. (Foto MOL/Lesman Simamora)
LANGKAT | Meski pemerintah telah berkali-kali melarang keras agar kawasan pesisir termasuk hutan mangrove tidak dialihfungsikan, tapi kenyataannya hingga kini alihfungsi lahan masih juga terjadi.
Kawasan hutan mangrove yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit diperkirakan mencapai seluas 100 hektar di Dusun ll & III Desa Pintu Air, Kec. Pangkalan Susu, Kab. Langkat.
Selain itu, oknum pemilik usaha menambah lagi sekira 5 hektar lahan baru di Dusun II Desa Pintu Air, dijadikan kebun kelapa sawit di atas lahan mengrove.
Lokasi alihfungsi yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit, itu diduga masuk kawasan Hutan Produksi (HP). Tanggul kebun sawit yang dibangun relatif dekat dengan aliran air paluh dan bibir pantai, sesuai pantauan wartawan, Jumat (10/10/2025).
Informasi yang diperoleh kru Metro Online di lapangan, pengusaha berinisial JD bertempat tinggal di Binjai, itu diduga tidak mengantongi izin resmi.
Kalau benar oknum pengusaha kebun kelapa sawit itu tidak ada izin alihfungsi, maka diminta kepada aparat penegak hukum untuk memanggil bersangkutan untuk dimintai keterangannya.
Bila terbukti bersalah, maka aparat penegak hukum diminta untuk menindak tegas oknum terduga pelaku alihfungsi kawasan hutan mangrove tersebut.
Perbuatan pengusaha diduga telah melanggar ketentuan dari Undang - undang no. 41 Tahun 1999, undang - undang no. 18 Tahun 2013, hingga undang - undang nomor 6 tahun 2021 tentang cipta kerja. terkait
dugaan pelanggaran itu bisa dikenakan sanksi hukuman pidana dan juga denda.
Keberadaan kebun kelapa sawit yang diduga masuk hutan produksi itu sesuai hasil monitoring Tim Reclassering Indonesia Komisariat Daerah Kabupaten (KOMDA) Langkat dan beberapa insan pers bersama sejumlah masyarakat Kec. Pangkalan Susu, Jum'at (10/10/2025).
Hal ini disampaikan oleh Ketua Raclassering Indonesia Komisariat Daerah Kabupaten (KOMDA) Langkat, Roni kepada beberapa wartawan, usai pihaknya melakukan pantauan lapangan dari Desa Pintu Air Dusun ll & lll.
Parahnya lagi, lanjut, Roni, dari hasil monitoring di sepanjang pantai tersebut, sama sekali tidak lagi mencerminkan kelestarian lingkungan. Dan apabila hal ini dibiarkan, lambat laun akan terjadi abrasi, dan kerusakan akan terus meluas akibat paluh atau bibir pantai tidak lagi terpelihara dengan baik, ujarnya.
Alihfungsi kawasan mangrove menjadi kebun kelapa sawit dan yang lokasinya relatif dekat dengan bibir pantai, itu berpotensi merusak lingkungan. "Kita tidak hanya hidup untuk hari ini, tetapi juga untuk masa depan generasi penerus kita", terang Roni.
Kelestarian kawasan mangrove, kata Roni, itu bukan saja hanya memperbaiki lingkungan, tapi juga memperkuat ekosistem karbon biru, yang memiliki peran penting dalam penyerapan dan penyimpanan karbon jangka panjang, serta berkontribusi pada pengurangan dampak perubahan iklim, ungkapnya.
"Besar harapan kami kepada pihak-berwenang agar segera melakukan tindakan guna perbaikan kerusakan lingkungan sehingga tidak terjadi lagi kerusakan yang lebih parah ke depan," ucap Roni.
Di sisi yang lain, warga penggiat hutan di Desa Pintu Air bernama Ahmad Yani saat di konfirmasi beberapa awak media, mengatakan jika praktik alih fungsi tidak segera dihentikan, maka ekosistem pesisir akan rusak dan ini berimplikasi terhadap nasib nelayan tradisional, termasuk usaha budidaya ikan dan udang.
Lebih lanjut dia menambahkan, sebelumnya, ada puluhan hektar kawasan hutan di daerah ini telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit dan kini oknum pengusaha kembali melakukan perluasan areal kebun.
Terkait dugaan alihfungsi lahan mangrove illegal dijadikan kebun kelapa sawit, Plt Camat Pangkalan Susu, Suriadi S.Sos, M.AP yang dikonfirmasi kru Metro Online melalui sambungan WhatsApp-nya, Jumat (10/10/2025) mengatakan, "terimakasih informasinya, kami tidak mengetahuinya, tutupnya.(ls/lkt1)

