Pengamat Politik Universitas Sumatera Utara (USU) Indra Fauzan.SHI.M.Soc.Sc.PhD |
PADANGSIDIMPUAN | Partai politik memiliki peran penting, dimana tujuan dan fungsinya berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat, bangsa, dan suatu negara. Namun nilai dan fungsi partai politik itu akan rusak, jika ditunggangi golongan tertentu dan menjadi sarana membangun politik keluarga.
Dalam dunia perpolitikan saat ini sedang ngetren politik dinasti, dimana politik ini adalah proses mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan golongan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan disuatu negara begitu juga kekuasaan di daerah.
Hal ini menjadi pertanyaan, apakah wajar apabila jabatan seorang kepala pemerintahan diteruskan oleh istri, anak , atau kerabat dekatnya?.
Sementara di negara kita saat ini sedang terjadi praktek penerusan kekuasaan pada orang-orang terdekat.
Politik dinasti adalah salahsatu peristiwa politik munculnya calon dari lingkungan keluarga kepala pemerintahan yang sedang berkuasa. Dinasti politik dapat diartikan sebagai sebuah rezim kekuasaan politik atau aktor politik yang dijalankan secara turun-temurun atau dilakukan oleh satu keluarga ataupun kerabat dekat.
Rezim politik ini terbentuk dikarenakan berkaitan yang sangat tinggi antara anggota keluarga terhadap perpolitikan dan biasanya tujuan dinasti politik ini adalah kekuasaan.
Dinasti politik merupakan sebuah serangkaian strategi manusia yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya dengan cara mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan sebelumnya.
Dinasti politik atau politik keluarga ini sudah terjadi di Indonesia, bahkan di wilayah Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel), dimana pada kontestasi politik di Tabagsel, seperti pemilihan calon legislatif dan kepala daerah banyak yang melibatkan keluarga yang ikut berperan pada kontestasi tersebut dan bahkan sampai turun temurun.
Menanggapi hal tersebut Pengamat Politik Universitas Sumatera Utara (USU) Indra Fauzan.SHI.M.Soc.Sc.PhD mengatakan, praktek politik seperti itu sudah lama terjadi dan tentunya tidak sehat secara demokrasi, karena akses kekuasaan itu kemudian dipermudah melalui tangan tangan penguasa.
"Itu tidak hanya terjadi di Tabagsel saja, tapi juga hampir merata diseluruh Indonesia, politik kekerabatan ini memunculkan klan klan politik di beberapa daerah seperti di Tabagsel, sebagaimana yang terjadi beberapa waktu ini," jelas Indra kepada metro-onlone.co, Selasa (13/8/2024).
"kenapa bisa terjadi karena partai politik tidak mampu menghadirkan mekanisme rekrutmen politik yang sehat, fungsi rekrutmen politik itu sendiri kemudian menjadi sarana bagi penguasa untuk membangun dinasti politik, melalui system kekerabatan yang ada, baik istri, anak, menantu, keponakan, sepupu dan lainnya. Sehingga partai politik menjadi sarana membangun politik keluarga," sambungnya.
Klan sendiri memiliki makna sekelompok orang yang dipersatukan oleh hubungan kekerabatan dan keturunan yang nyata atau yang dianggap nyata. Klan dapat mengklaim keturunan dari anggota pendiri atau leluhur
Kemudian kata Indra, tentunya dalam hal ini terlihat jelas kegagalan partai politik menghadirkan kader-kader yang memang berkualitas dan mampu bersaing,. Masyarakat juga berperan dalam menyuburkan hal tersebut jadi perlu mekanisme control social dan politik dalam memperlambat proses politik kekerabatan tersebut
Indra menyebutkan, Sistem perekrutan yang dilakukan partai politik seperti itu akan berdampak pada demokrasi dalam ranah lokal yang tidak sehat.
Kendati hal seperti itu, Kekuasan hanya berkutat pada lingkungan satu keluarga atau klan politik sehingga kekuasaan tidak terdistribusi dengan baik. Individu individu yang baik dan berkualitas tapi tidak memiliki jaringan klan atau keluarga akan tidak memiliki akses politik.
Tidak itu saja kata Indra, distribusi kekuasaan hanya berputar pada kelompok tersebut dan akan berefek kepada korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Selanjutnya birokrasi akan menguntungkan klan politik tertentu dan keluarga, pejabat-pejabat daerah akan diisi oleh orang orang yang memiliki jaringan kekerabatan tadi jadi meritokrasi tidak berjalan.
"Pilihan kita menggunakan demokrasi sebagai sistem politik, tidak ada demokrasi yang betul Sempurna. Kekuasaan demokrasi itu ada ditangani rakyat, oleh karena itu rakyat yang menentukan. Jadi kalau rakyatnya dikendalikan oleh kekuasaan maka demokrasinya tidak sehat, " tegas Indra yang juga Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik USU itu.
Dalam demokrasi harus ada sirkulasi kekuasaan yang sehat, pergantian kekuasaan dari rezim yang berbeda beda kalau masih seputar klan politik tadi maka tidak ada sirkulasi kekuasaan.
Kualitas rakyat juga harus diperbaiki mulai dari pengetahuan politik, literasi politik dan kritis dalam menyikapi pilihan.
"kalau satu keluarga atau klan politik saja yang berkuasa maka demokrasi tidak baik," cetus Indra.
"Pilihan terbaik ada pada masyarakat. masyarakat yang menentukan, karena pemimpin itu munculnya dari rakyat, pemimpin yang baik menggambarkan rakyat yang baik pula, pemerintahan yang korup menggambarkan masyarakat yang juga korup contohnya politik uang. Maka dari itu bisa dilihat kualitas pemimpin itu menggambarkan kualitas rakyat," pungkas Indra. (Syahrul/ST).