Aviasi Indonesia Tertekan Dampak Regulasi Pemerintah yang Kerap Berubah

Sebarkan:


DELISERDANG |
Serikat Karyawan PT Angkasa Pura II atau Sekarpura  II menggelar diskusi panel bertajuk 'Saturasi Oksigen Aviasi Indonesia' bertepatan di hari ulang tahunnya ke 22 tahun ini. Dalam kegiatan ini menghadirkan 2 narasumber, Alvin Lie selaku Pengamat Penerbangan dan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.

Dalam diskusi disimpulkan, Pemeritah diharapkan dapat mengkaji ulang kebijakan atau regulasi terkait pergerakan masyarakat khususnya pengguna transportasi udara dalam masa Pandemi COVID-19. 

Pengamat Penerbangan, Alvin Lie dalam siaran persnya dilansir Metro-Online.co, Jumat (27/08/2021) menyebutkan, sejak mewabahnya virus Covid-19 di tanah air, regulasi yang mengatur persyaratan bagi masyarakat pengguna transportasi udara khususnya penerbangan domestik sangat cepat berubah ubah dan ini menjadi beban berat bagi pelaku usaha dan masyarakat.

Sebagai contoh di awal pandemi, penumpang pesawat diminta menyertakan hasil negatif Covid-19 dengan metode Rapid Tes Antibody. Tidak lama kemudian menjadi Swab Antigen. Namun, setelah vaksinasi digencarkan, kini penumpang pesawat wajib melakukan tes PCR sebagai salah satu syarat selain vaksinasi. 

Alvin Lie mengatakan bahwa ada aturan yang terkesan diskriminatif terhadap transportasi udara. Salah satunya adalah persyaratan hasil negatif Covid-19 dengan metode PCR Test dan wajib vaksin bagi penumpang pesawat.  

"Saya kira yang pertama harusnya syarat untuk perjalanan udara disamakan dengan moda transportasi lain. Moda tranportasi yang paling banyak yang digunakan itu kan (tranportasi) darat, tapi justru paling longgar, tidak disiplin," kata Alvin Lie. 

"Pemerintah juga seharusnya mengapresiasi juga bahwa transportasi udara selama ini paling ketat dan paling disiplin. Juga alat angkutnya ini, sebelum pandemi juga sudah dilengkapi HEPA filter kemudian ada peraturannya penerbangan dibawah 2 jam tidak boleh makan, tidak boleh bicara, harus pakai masker. Ini kok masih ditambahin PCR lagi," jelasnya. 

Ia menuturkan, selain menyamakan persyaratan bagi pengguna transportasi udara, pemerintah juga diharapkan untuk mengampanyekan bahwa terbang itu aman. Karena, dengan adanya sejumlah persyaratan untuk penumpang transportasi udara terkesan bahwa terbang tidak aman.

"Dengan regulasi yang diskriminatif ini justru menambah kesan publik bahwa terbang itu tidak aman. Percuma saja menteri pariwisata mempromosikan daerah wisata tapi tidak mempromosikan penerbangan. Padahal daerah-daerah wisata itu membutuhkan tranportasi udara," tuturnya. 

Senada dengan Alvin Lie, Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan bahwa pemerintah terkesan diskriminatif terhadap sektor transportasi udara yang sangat merugikan konsumen. 

"Seharusnya memang pemerintah tidak seharusnya memberikan satu kebijakan yang diskriminatif pada sektor udara. Karena toh, ketika sektor udara dibatasi dengan ketat khususnya dengan tes PCR dan segala macam kemudian sektor lainnya tidak, mobilitas juga sama saja," ujarnya.

Tulus Abadi mengatakan, adanya kebijakan untuk membatasi mobilitas masyarakat dengan melakukan pembatasan penerbangan tidak mempengaruhi atau tidak membatasi mobilitas masyarakat lain karena pengawasannya berbeda.

"Mobilitas jadi tidak terkendali dan akhirnya di satu sisi ingin membatasi penerbangan untuk membatasi mobilitas tapi mobilitas lain tetap jalan.  Dengan adanya kebijakan yang sangat dinamis atau dalam bahasa terangnya adalah berubah-ubah, itu jelas sangat merisaukan konsumen dan sangat merugikan konsumen," jelasnya.

Sementara Ketua Umum Sekarpura II Trisna Wijaya menjelaskan, selama pemberlakuan PCR bagi penumpang pesawat, banyak masyarakat yang urgent dikarenakan kemalangan, keluarga sakit kritis atau urgensi lainnya tidak dapat langsung menggunakan transportasi udara dan harus menunggu beberapa hari.

"Ada 2 hal yang disoroti oleh kami, yang pertama keluhan penumpang terhadap persyaratan penerbangan yang sangat sering berubah. Terlalu mahal, terlalu lama hasilnya, terlalu membingungkan dan keluhan lainnya. Selain diwajibkan vaksinasi, namun juga harus PCR," kata Trisna Wijaya.  

Oleh karenanya, lanjut Trisna Wijaya, kebijakan terkait persyaratan wajib PCR tersebut ditinjau ulang dan diberlakukan sama antara Jawa-Bali dan Luar Jawa-Bali. Dimana dapat menggunakan Rapid Antigen dan Gnose bagi calon penumpang yang sudah divaksinasi. 

"Karena kenyataannya, selain teknologi HEPA Filter yang ada di pesawat, penumpang tidak diperbolehkan makan minum dan harus menggunakan selalu masker saat di pesawat," jelasnya. (wan)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini