Koptan Mandiri Asahan Diduga Intimidasi dan Serobot Lahan Sawit Masyarakat

Sebarkan:
TANJUNGBALAI - Masyarakat Dusun III, Desa Sei Dua Air Hitam, Kecamatan Kualuh Leidong, Kabupaten Labuhan Batu Utara (Labura), Sumatera Utara, merasa resah.

Pasalnya, Koperasi Tani (Koptan) Mandiri yang beralamat di Asahan, melakukan penyerobotan atau mengklaim sepihak atas lahan warga yang telah memiliki alas hak tanah.

Hal ini disampaikan seorang warga masyarakat Dusun III, Desa Sei Dua Air Hitam, Kecamatan Kualuh Leidong, Kabupaten Labura, Anggiat Tumpak Sitinjak didampingi Penasehat Hukumnya Rahman Sitorus SH ditemui wartawan di Lobi Hotel Ayola, Kamis (13/2/2020) kemarin.

Dikatakan Anggiat, Koptan Mandiri bukan melakukan program apa yang telah ditentukan oleh undang-undang, melainkan melaksanakan diluar dari program pemerintah, yaitu mengambil hasil tanaman sawit masyarakat.

"Koptan Mandiri ambil hasil tanaman sawit masyarakat secara terang-terangan dan ini bisa juga disebut penjarahan atau pencurian," katanya.

Pria yang pernah dekat dengan Koptan Mandiri ini menyebutkan, selain itu, mereka (Koptan Mandiri, red) juga memutus akses jalan masyarakat dengan cara bergotong royong, mencangkul untuk memotong (menutup) jalan tersebut.

"Saat ditanya ini perintah siapa, karena jalan itu adalah jalan akses masyarakat yang berada di Desa Air Hitam, serta mengingat juga ada lahan masyarakat di belakang sana. Kami nanya kenapa dipotong, anggota Koptan Mandiri malah menjawab itu areal perijinan mereka, jadi wajib membuat tapal batas," sebutnya.

Anggiat menceritakan bahwa anggota Koptan Mandiri pernah menantang dengan menyuruh melaporkan hal itu kepada Presiden Jokowi dan Kapolri.

"Kalau masyarakat tidak senang kepada kami, silahkan aja melapor sama Kapolri dan laporkan kepada Jokowi," ucapnya menirukan percakapan anggota Koptan Mandiri.

Akibat hal tersebut, maka terjadi bentrok yang menimbulkan pidana. Terjadinya bentrok bukan membela sepihak, melainkan sudah mendapat bukti bahwa lahan masyarakat tersebut sudah diklaim oleh kelompok Tani Mandiri dan yang diduduki sekarang adalah lahan milik Akiat dan lahan masyarakat.

"Koptan Mandiri mengklaim lahannya sebesar 565 hektar. Itu lahan milik bapak Akiat sebesar 200 hektar dan selebihnya adalah lahan masyarakat," jelasnya.

Anggiat mengaku, pihak Kesatuan Pengelola Hutan III (KPH3) Kisaran, Kabupaten Asahan, sudah melakukan cek areal perizinan Koperasi Mandiri, dirinya sendiri melihat bahwa tanah/lahan masyarakat seluruhnya sudah diklaim dan itu diluar lahan Akiat.

"Nah selanjutnya kembali lagi perusakan jalan dan itu sudah empat kali terjadi, (warga buka, Koptan Mandiri tutup akses jalan) hingga akhirnya terjadi pemukulan hingga berujung bentrok antara warga dan dua orang anggota Koptan Mandiri," katanya.

Bentrok berawal saat ketiga kalinya masyarakat mau memanen hasil tanamannya ke akses jalan tersebut, namun dilarang langsung hingga terjadi kontak fisik yang mengakibatkan unsur pidana. Polres Labuhanbatu cepat tanggap hingga menurunkan personilnya, namun masyarakat bertangungjawab dengan tidak ada yang melarikan diri karena akses jalan diputus.

"Jadi yang membuat keributan pertama pun, itu anggota Koperasi Mandiri yang melakukan pemukulan kepada masyarakat yang berbondong-bondong datang. Jadi yang terjadi sekarang ini masyarakat selalu diintimidasi dan tidak bisa lewat dari akses yang di klaim mereka ini. Itu sebabnya warga jadi takut untuk mengambil hasil tanaman mereka disana. Kita sudah konfirmasi dengan pihak penegak hukum," ungkapnya.

Sebelum terjadi bentrok, Anggiat sudah buat laporan pada tanggal 1 November dan kajadian tanggal 2 November 2019. Di tanggal 1 November 2019 lalu sekitar pukul jam 4 sore, emosi warga memuncak sehingga dirinya langsung lari ke Polsek untuk membuat pengaduan.

"Saat itu saya mengatakan kepada Kapolsek bahwa besok masyarakat berbondong-bondong kesana mau menutup akses jalan itu supaya warga bisa beraktivitas, jawabannya oke siap, nanti anggota saya arahkan, Nyatanya apa, tunggu terjadi baru datang personil, buat apa gunanya. Semntara, Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu juga tidak ada tanggapan," imbuhnya.

Mengenai hak alas masyarakat, pihak masyarakat telah ngobrol dan menunjukkan alas hak tanah di kantor Kehutanan Asahan berupa Surat Keterangan Tanah (SKT), namun pihak KPH3 menyatakan tidak berlaku dalam kawasan hutan.

"Pihak KPH3 juga mengatakan, itu tidak berlaku dan malah menuduh masyarakat dengan mengucapkan kalian itu perambah hutan. Saksi hadir pada saat itu, Polsek Kualuh Leidong, Danramil dan Camat Kualuh Leidong membenarkan jawaban KPH tersebut bahwa tidak berlaku SKT di kawasan hutan," ucapnya.

Anggiat merasa aneh dan menegaskan bahwa itu merupakan pembohongan publik.

"Kalau memang tidak berlaku SKT, buat apa ada Bupati dan Camat yang melakukan pengurusan surat masyarakat ke Camat," tukasnya.

Dia juga mempertanyakan kepada Pihak Kehutanan dari KPH3, Ketua koperasi Tani Mandiri atau seluruh pejabat Kehutanan yang ada di Indonesia bahwa Undang-Undang (UU) mana yang membenarkan mengambil hak seseorang ataupun tanaman seseorang dalam kawasan hutan dan UU mana yang membenarkan tanah yang sudah beralaskan hak, dapat diterbitkan izin baru.

"itu pertanyaannya UU mana yang membenarkan, mohon maaf banyak UU perhutanan ini yang dibaca tapi belum ada yang membenarkannya," tegasnya.

"Sekarang di lahan yang diklaim Koptan Mandiri adalah milik Pak Akiat kurang lebih 200 hektar. Mereka (Koptan Mandiri) yang mengambil hasil dari lahan tanaman tersebut, kami tidak boleh masuk kedalam, anggota kami tidak bisa memanen, orang itu (anggota Koptan Mandiri) yang manen atau mengambil hasilnya. Bukti jelas ada sama saya semua termasuk video sama foto," tuturnya.

Anggiat menjelaskan, pihaknya sudah melaporkan kepada pihak Kepolisian bahkan sampai ke Polres Labuhanbatu dan sempat diamankan 2 orang tanpa identitas, namun terakhir dilepas.

"Sampai detik ini saya belum mendapat SP3 nya kenapa dilepaskan, apakah dirinya kurang persyaratan atau kurang data, bisa kita kasih untuk menindaklanjuti penyidikan," katanya.

Anggota berpesan kepada Kapolda Irjen Pol Martuani Sormin agar melakukan penyelidikan dan penyidikan tentang kasus lahan warga di Dusun III, Desa Air Hitam, Kec. Kualuh Leidong, Kabupaten Labura.

"Kami merasa terintimidasi dan tidak ada keadilan. Ada pertanyaan yang sangat janggal, kanapa Koperasi Tani Mandiri yang membuat pengaduan hoak (Berita Bohong) cepat ditanggapi dan dari masyarakat mengadu secara resmi dan bukti nyata ada, tidak ditanggapi, ada apa?" ujarnya.

Anggiat mengaku detuju dengan program pemerintah bahwa Hutan Tanaman Rakyat terkait Penghijauan, namun hendaknya jangan Koperasi Tani Mandiri merampas milik warga yang mempunyai hak alas tanah.

"Kita bingung, apakah memang benar apa yang dilakukan Kelompok Tani Mandiri yang mendapat dana anggaran dari pemerintah hingga milyaran rupiah untuk menunjang peningkatan ekonomi dan masyarakat atau memang organisasi ini berkedok program pemerintah malah pemerintah dan instansi berkompeten sendiri melakukan pembiaran agar terjadi kriminalisasi di tengah-tengah masyarakat," katanya.

Sementara, Penasehat Hukum dari masyarakat, Rahman Sitorus SH mengaku, terhadap program pemerintah harus dihormati, apa yang menjadi hak rakyat harus diberikan, kalau hak-hak warga tidak diberikan.

"Itu berarti hak-hak konstitusional setiap warga negara. Terbukti berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi itulah tentang kepastian hukum hak rakyat yang ada di kawasan hutan karena ketentuan kehutanan itu, kalau ada hak-hak pihak ketiga yang ditemukan didalam, wajib hukumnya dikeluarkan dari kawasan hutab. Apabila dari hasil identifikasi, lahan masyarakat itu layak dipertahankan jadi kawasan hutan, solusinya undang-undang kehutanan itu menyatakan diberi kompensasi, tapi faktanya kan status kawasan hutan produksi bukan kawasan hutan lindung atau konservasi," jelasnya.

Rahman mengaku, apa yang mejadi hak rakyat harus diberikan, karena negara ini juga melindungi hak-hak rakyat atas perlindungan.

"Itulah maka muncul keputusan Mahkamah Konstitusi itu, dan muncullah putusan Mahkamah Agung. Lalu terjadi revisi waktu itu dari SK 44 menjadi SK 579. Waktu munculnya SK 579 hak-hak rakyat itu dikeluarkan. Walau itu sudah ditetapkan kawasan hutan dengan acuan Permen 44 tentang pengukuhan tetap dikeluarkan dari kawasan hutan. tapi sudah berubah permohonannya dari Bupati," ujarnya.

"Benarkah ijin daripada Koptan disitu dan benarkah arahan kehutanan terhadap Koptan Mandiri menguasai itu? Kenapa sampai diarahkan kehutanan areal HTR di tanah rakyat yang sudah beralas hak" ucapnya seperi bertanya.

Menurut Rahman, karena sudah hak setiap orang untuk mengadukan dan melaporkan  dugaan tindak pidana dengan mengambil tanaman yang bukan miliknya, aparat penegak hukum harus bertindak tegas.

"Menurut pendapat saya, itu perbuatan melawan hukum karena tidak ada izin, tidak ada persetujuan, tidak ada kompensasi, maka penegak hukum harus melakukan tindakan-tindakan yang tegas, karena sifatnya sudah meresahkan masyarakat," tutupnya.

Hingga berita ini diturunkan  redaksi belum ada dapat konfirmasi dari pihak Dinas Kehutanan dan instansi terkait lainnya. (Surya)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini