Hari ke-9 Imlek, Etnis Tionghoa Suku Hokkian Sembahyang Tebu, Ini Ritual dan Maknanya

Sebarkan:
TEBINGTINGGI - Mayoritas etnis Tionghoa suku Hokkian di Sumatera Utara khususnya di Kota Tebingtinggi, pada hari ke-9 setelah perayaan Imlek kembali merayakan Tahun Baru.

Perayaan ini dilakukan dengan ritual Sembahyang Tebu. Bagaimana aktivitasnya? Pada dasarnya, tahun baru Imlek dirayakan pada 25 Januari 2020 kemarin.

Namun, perayaan Imlek ini menurut tradisinya akan berlangsung hingga 15 hari, yang berarti baru berakhir pada 8 Februari mendatang. Awal tahun baru Imlek disebut Che It, sedangkan pada hari terakhir perayaan disebut Cap Go Meh.

Nah, di tengah-tengah perayaan di awal dan akhir ada pula ritual yang dinamakan Sembahyang Tebu. Ritual ini dilaksanakan pada hari ke-9 (Che Kau) setelah hari pertama perayaan Imlek (Che It).

Itu berarti jatuh pada 2 Februari dan uniknya seperti perayaan tahun baru. Sembahyang Tebu ini juga dilakukan pada tepat pergantian hari, yakni pada pukul 00.00 WIB.

Awal terjadinya Sembahyang Tebu ini hingga menjadi tradisi di suku Hokkian, bermula pada satu kisah di China yang melibatkan suku Hokkian berperang dengan suku lainnya.

Pada pertempuran itu, akhirnya Suku Hokkian kalah dan melarikan diri kedalam hutan. Di tengah persembunyian, mereka melihat bulan, yang berarti sudah tiba waktu Imlek.

Meski masih dalam kondisi bersembunyi dari perang, mereka tetap ingin merayakan Imlek. Karena itu, mereka mencari buah-buahan sebagai syarat melakukan sembahyang kepada leluhur.

Namun, di tengah hutan itu, mereka tidak menemukan buah-buahan yang pantas. Sekian lama mencari, akhirnya mereka menemukan tebu dan tebu ini yang dijadikan syarat untuk sembahyang terhadap leluhur.

Dari kisah itu, akhirnya tradisi Sembahyang Tebu terus jadi satu ritual atau tradisi yang dipelihara dan dilakukan oleh suku Hokkian hingga saat ini.

“Kisah itu bukan dongeng, dan memang terjadi di masa lalu. Dan itu juga menjadi perayaan Imlek pertama bagi Suku Hokkien," ungkap seorang warga etnis Tionghoa suku Hokkian Amin, Sabtu (1/2/2020) malam.

Menurutnya, sembahyang yang dilakukan di tengah-tengah perayaan tahun baru Imlek ini merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur.

"Tentunya dengan menimbulkan harapan ke arah yang lebih baik, serta kemakmuran dalam perjalanan hidup hingga akhir hayat," ucapnya.

Keluarga besar Amin mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk melakukan Sembahyang Tebu pada Sabtu (1/2/2020) pukul 23.00 WIB.

Mulai dari menyusun panganan dan buah-buahan yang diletakkan di atas meja di depan rumah, hingga mengumpul dan menumpukkan kertas-kertas yang diyakini sebagai uang untuk dibakar. Serta menghidupkan lilin serta dupa baik yang kecil dan besar.

Untuk membakar kertas-kertas uang yang diyakini sebagai bekal nanti di alam baka tersebut, baru bisa dilakukan setelah lilin sudah terbakar setengahnya.

"Ini sudah menjadi tradisi, lilin harus sudah terbakar setengah baru kita bisa membakar uangnya," imbuhnya.

Amin menuturkan, jumlah uang yang dibakar tersebut boleh bertambah tiap tahunnya.

"Jika kita punya rezeki lebih, boleh menambahnya. Untuk tahun ini kami sekeluarga membakar 500 lembar uang," katanya.

Dalam ritual tersebut, ada panganan wajib yang mesti disediakan pada malam Sembahyang Tebu ini, yakni kue keranjang atau kue mangkok.

"Ini panganan wajib, karena ini perayaan tahun baru," katanya.

Kemudian, tepat pada pukul 00.00 WIB, keluarga besar Amin satu-persatu melakukan ritual sembahyang layaknya sembahyang yang dilakukan etnis Tionghoa, dengan membakar dupa dan melakukan sembahyang.

Lalu, bergantian antara yang sudah berkeluarga dan masih lajang serta gadis. Setelah ritual sembahyang, tinggal menunggu lilin terbakar setengahnya, baru membakar uang.

Setelah ritual ini, ada harapan dari masing-masing keluarga suku Hokkian ini agar bisa lebih makmur menjalani tahun-tahun berikutnya. (Sdy)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini