Tahun Baru Imlek, Dilarang Soeharto Dipulihkan Gus Dur

Sebarkan:
JAKARTA - Tahun Baru Imlek atau Sinchia merupakan perayaan menyambut musim semi di China. Tradisi ini lekat dengan sistem penanggalan kalender Tionghoa yang berpatokan pada peredaran bulan. Etnis Tionghoa di berbagai negara masih memegang tradisi ini, termasuk di Indonesia.

Persentuhan orang Tionghoa dengan Nusantara memiliki sejarah panjang. Sejarawan Benny G setiono dalam buku Tionghoa dalam Pusaran Politik menyebut belum diketahui waktu yang pasti soal keberadaan orang Tionghoa pertama kali di Nusantara. Dugaan selama ini hanya berdasarkan hasil temuan benda kuno seperti tembikar di sejumlah daerah di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera.

"Dari temuan dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan lalu lintas pelayaran antara orang dari China daratan dengan Nusantara bahkan sudah berlangsung dalam abad 1-6 SM," tulis Benny dalam bukunya itu.

Baru pada masa kerajaan Airlangga muncul koloni Tionghoa di beberapa kota pelabuhan. Namun menurut catatan resmi, orang Tionghoa mulai berdatangan secara resmi pada masa Dinasti Tang.

Mereka pada umumnya tidak membawa istri dari daratan China. Catatan Major William Thorn, Deputy Quarter-Master General to the Forces serving in Java, menyatakan orang Tionghoa tidak membawa istri karena ada larangan untuk membawa atau mengirimkan perempuan keluar dari China.

Para imigran ini akhirnya mengawini perempuan Jawa atau Melayu, atau membeli budak untuk dijadikan gundik atau istri. Berabad-abad tinggal di Nusantara dan ada bahkan menikahi perempuan lokal, mereka masih tetap menjaga dan memegang teguh tradisi leluhurnya. Termasuk merayakan Tahun Baru Imlek atau Sinchia.

Setelah Indonesia merdeka, keturunan Tionghoa masih setia menjalankan tradisi itu. Presiden Sukarno memberi keleluasaan pada mereka. Namun ketika rezim berganti nasib etnis Tionghoa berubah. Selaras dengan terjadinya G30S 1965, kampanye antinegara China meluas. "Ini berimbas juga pada warga etnis Tionghoa," ujar pemerhati Tionghoa, Johanes Herlijanto.

Sementara, Benny Setiono yang mengutip laporan Roland Challis, kontributor BBC untuk Asia Tenggara menyatakan Inggris berusaha memainkan kartu etnik dengan melakukan propaganda untuk menekankan peranan etnis Tionghoa dalam pengembangan komunis.

"Salah satu sukses utama yang diinginkan pihak Barat, adalah mengatur agar politisi non komunis Indonesia percaya bahwa sumber komunisme yang utama adalah minoritas Tionghoa di Indonesia," tulis Challis.

Kantor berita Hsinhua menyebut selama enam bulan setelah peristiwa G30S ratusan etnis Tionghoa dilaporkan jadi korban.

Tak hanya itu, rezim yang dipimpin Soeharto juga mengeluarkan sejumlah aturan dimulai Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai pergantian nama, lalu Instruksi Presiden No. 14/1967 yang mengatur agama, kepercayaan, dan adat istiadat keturunan China, dan sejumlah aturan lain.

Inpres No. 14/1967 salah pasalnya berbunyi tata-cara ibadah China yang memiliki aspek affinitas culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan. "Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok didepan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga."

Satu demi satu identitas kechinaan disingkirkan. Mulai dari papan nama toko berhuruf kanji yang dianggap tak "berkepribadian Indonesia" sampai nama-nama yang masih ada unsur China. Mereka yang masih menggunakan nama Tionghoa diminta mengganti dengan nama Melayu.

Semua peraturan ini sejak masa reformasi dirasakan tidak sesuai lagi. Aroma diskriminasi ras atau etnis begitu menyengat hingga dikategorikan melanggar hak asasi. Presiden Habibie menyadarinya. Habibie mengeluarkan Inpres yang membatalkan peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, seperti yang tertuang dalam Inpres Nomor 26/1998.

Habibie menginstruksikan penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Sayangnya belakangan masih ada politisi yang menggunakan jargon ini untuk menarik simpati.

Larangan merayakan Tahun Baru Imlek secara terbuka berakhir ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi presiden. Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967 dengan mengeluarkan Keppres No. 6/2000.

Penerusnya, Megawati Soekarnoputri, melanjutkannya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. (Dc)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini