Kaum Muda, Investasi dan Hak Asasi Manusia di Mata Majda El Muhtaj

Sebarkan:
Majda El Muhtaj
SUMUT | Peringatan Hari HAM Se-Dunia ke-71, 10 Desember 2019, mengangkat tema 'Youth Standing Up For Human Rights' (Kaum Muda Berdiri Untuk Hak Asasi Manusia).

Tema ini dipilih PBB sebagai responsivitas terhadap perubahan dunia yang selain diaktori oleh kecerdasan agregatif kaum milenial, dampak terbesar yang merasakan perubahan besar dunia saat ini juga kaum milenial.

Kepala Pusat Studi HAM (Pusham) Universitas Negeri Medan, Majda El Muhtaj, menyebut dinamika perubahan yang masif kini menuntut keandalan kaum milenial dalam beragam taraf adaptasi yang cerdas.

"Generasi milenial merupakan 'penduduk asli' dari realitas perubahan global yang ditandai dengan otomasi, digitalisasi, migrasi dan modernisasi aneka perangkat kecerdasan artifisial. Maka bekal kemelekan digital menjadi kata kunci untuk membingkai perubahan supra-canggih ini ke dalam tatanan keseimbangan dan keadilan sosial yang teruji," kata Majda dalam keterangan tertulisnya, Selasa (10/12).

Lebih jauh Majda menyebut, pendidikan kewargaan yang demokratis dan pendidikan hak asasi manusia semakin ditantang untuk mampu beradaptasi dengan iklim kehidupan kaum milenial untuk senantiasa bisa respek pada keragaman dan nalar-nalar keadilan serta kesetaraan.

Menurutnya jangkauan perubahan global itu telah mengaksentuasi seluruh aspek kehidupan manusia. Akselerasi teknologi digital selain memberikan dampak positif berupa kemudahan dan kecepatan akses informasi, juga berimplikasi secara negatif terhadap penyederhanaan pola pikir dan pola sikap serta perilaku yang individualistik hegemonik di aras kehidupan sosial masyarakat.

Kebajikan publik (public virtue) menjadi persoalan utama yang muncul ketika relasi sosial semakin dirasakan jauh dari keadilan dan kesetaraan karena dihadapkan pada pilihan tuntutan investasi sebagai ekses dari resesi dunia yang semakin akut dan cenderung menafikan tatanan kehidupan yang adil dan berkesinambungan.

"Belakangan investasi menjadi terma yang acapkali menggelinding sebagai antitesis dari kerunyaman struktur ekonomi global dan berimplikasi pada tatanan ekonomi nasional. Investasi infrastruktur dalam jumlah yang sangat besar dan terjadi secara masif sangat dirasakan belum mampu tegak lurus dengan ekspektasi sosial masyarakat," ujarnya.

Laju investasi juga belum mampu mengurangi angka buta huruf dan ketidakmelekan digital masyarakat. Laju investasi masih disemangati oleh kemandirian semu yang sesungguhnya menjadi 'mimpi buruk' bagi sebagian masyarakat yang dalam faktanya masih berada dalam politik ekonomi marjinalisasi pembangunan yang ditandai dengan penggusuran, pengangguran, kriminalitas, hedonistik dan individualistik.

Di sinilah kaum milenial dipanggil untuk urun rembug secara aktif-partisipatif berdiri tegak memantapkan keajegan nilai-nilai demokrasi yang respek pada hak asasi manusia.

Dalam spektrum hak asasi manusia, investasi sejatinya tetap dipandang sebagai sarana, bukan tujuan pembangunan. Sebagai sarana, investasi yang sarat dengan aktivitas entitas bisnis yang berkorelasi kuat dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Relasi bisnis dan hak asasi manusia meniscayakan hadirnya tiga pilar penting, sebagaimana dirujuk sebagai United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) yang diadopsi oleh PBB pada 2011.

Komitmen internasional, melalui UNGPs, harus menjadi komitmen aksi nasional karena diyakini menjadi kerangka panduan yang mampu mendamaikan polisentrisitas antara tata kelola negara, tata kelola korporasi dan tata kelola masyarakat sipil yang sangat peduli mengadvokasi kepentingan hak asasi manusia secara universal.

"Peringatan Hari Hak Asasi Manusia 2019 harus menjadi momentum bagi segenap aktor negara untuk menyadari hakikat kewajiban internasional dan nasional untuk melindungi hak asasi manusia," imbaunya.

"Kewajiban itu meniscayakan negara untuk memastikan langkah-langkah perlindungan hak asasi manusia dari aneka pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pihak korporasi. Investasi sekali lagi harus senapas dengan penguatan kewajiban negara dan tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia. Investasi harus mampu dimobilisasi untuk mendorong terbitnya pekerjaan layak (decent work for all) dan pekerjaan masa depan (future of work) yang berpusat pada manusia (a human-centred agenda for the future of work) demi tegaknya kehidupan dengan kebebasan fundamental dan kemartabatan manusia (decent living for all)," tegas Majda.

Tanpa itu, sambungnya, investasi akan bermula dan berkesudahan dengan janji-janji palsu dan mimpi buruk bagi penikmatan hak asasi manusia. Akhirnya, dorongan kuat untuk berdirinya kaum muda di baris terdepan bagi pemajuan hak asasi manusia sesungguhnya merupakan aset nasional melanggengkan kecerdasan dan harapan baru bagi tegaknya nilai-nilai keadaban dalam rumah besar Indonesia.(rel)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini