Catatan Akhir Tahun LIRA Tebingtinggi: Pelayanan Publik, Supremasi Hukum dan Pengelolaan Anggaran Belum Optimal

Sebarkan:

TEBINGTINGGI - Tidak terasa waktu terus berjalan. Tahun 2020 sudah diambang pintu, namun Pemerintah Kota (Pemko) Tebingtinggi masih meninggalkan raport merah sepanjang tahun 2019 terkait pelayanan publik, penegakan supremasi hukum dan pengelolaan anggaran belanja daerah.

Demikian dikatakan Ratama Saragih selaku Wali Kota DPD LSM LIRA dalam laporan tertulisnya kepada Metro Online, Selasa (31/12/2019) malam.

"Diawali dengan pelayanan publik, Pemko Tebingtinggi tidak tanggung-tanggung diganjar oleh Ombudsman RI yakni kepatuhan predikat sedang (zona kuning) di angka penilaian (70,77). Ini membuktikan bahwa OPD sebagai penyelenggara pelayanan publik masih harus berbenah diri untuk lebih lagi memperbaiki kualitas layanan publik," ujar Ratama.

Hal itu sebagaimana diamanatkan undang-undang nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik.

Bahkan, kata Ratama, UUD 1945 telah mengamanatkan kepada negara untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negaranya, baik itu kebutuhan dasar dalam urusan kesehatan, pendidikan, urusan administrasi kependudukan, maupun urusan penghidupan lainnya.

"Seperti misalnya urusan layanan kesehatan dimana masih ada warga yang mengeluh sekaligus melaporkan adanya pasien yang ditolak Rumah Sakit Unit Gawat Darurat, padahal pasien tersebut harus segera diambil tindakan oleh Dokter UGD. Di bidang perizinan selalu saja melalui birokrasi yang panjang dengan waktu penyelesaian yang lama," ungkapnya.

Selanjutnya, jelas Ratama, di bidang perdagangan dan jasa tidak ada kepastian hukum dan kepastian informasi yang transparan kepada pengguna layanan publik, dalam hal ini warga yang ingin membuka usaha dagang dan jasa bahkan terindikasi Maladministrasi yang berpotensi menjadi KKN.

"Di bidang Tenaga Kerja masih adanya pekerja dan buruh yang dipecat semena-mena oleh pihak pengusaha tanpa memperhatikan rambu-rambu tenaga kerja yang ada. Di bidang pendidikan lemahnya tingkat persaingan lembaga pendidikan swasta yang dikelola yayasan dengan lembaga pendidikan negeri sehingga dikuatirkan akan adanya sekolah swasta yang tutup akibat kekurangan siswa," imbuhnya.

Lalu, di bidang lingkungan hidup, pencemaran air Sungai Padang diatas ambang toleransi dan pencemaran polusi udara yang merusak kualitas udara di atmosfer serta pembuangan limbah keluarga perkotaan yang tidak jarang dijumpai ruko tanpa septitank.

"Di bidang satpol PP belum adanya tindakan tegas terhadap pemakaian trotoar untuk berjualan, padahal trotaor disediakan untuk pengguna jalan kaki," tutur Ratama.

"Maka raport merah pelayanan publik Pemko Tebingtinggi menjadi tugas berat memasuki tahun 2020," sambungnya.

Lanjut dikatakan Ratama, tidak kalah pentingnya dengan penegakan supremasi hukum oleh Aparat Penegak Hukum (APH) terkhusus penegakan supremasi hukum korupsi nyaris terkesan direkayasa alias ada konspirasi besar.

"Dimana ada temuan kerugian negara yang besar alias kasus kakap tidak disidik, akan tetapi hanya temuan kerugian negara yang kecil alias kasus teri baru disidik. Itupun harus berjibaku oleh tekanan dari masyarakat," tegas Ratama.

Hal ini membuktikan bahwa God Govermence hanyalah istilah semata yang mustahil akan memperoleh Predikat Zona Wilayah Bebas Korupsi (WBK).

Catatan terakhir adalah pengelolaan anggaran yang tidak terpisahkan dari perencanaan anggaran, pengawasan anggaran oleh DPRD Kota Tebingtinggi dan masyarakat serta komitmen APH dalam menyelamatkan uang negara sebagai bagian dari anggaran negara itu sendiri.

Faktanya perimbangan belanja langsung dan belanja tidak langsung dalam APBD Tebingtinggi tahun anggaran 2019 sangat mencolok.

"Ini mengharuskan kalau Pemko sebagai pengguna anggaran sudah selayaknya mengahasilkan Infrastruktur yang baik, tepat guna, tepat sasaran, dan berfungsi bagi orang banyak," ucapnya.

Ratama menambahkan, faktanya banyak bangunan infrastruktur yang tidak tepat guna, tepat sasaran, bahkan berpotensi total lost, seperti pembangunan Pasar Induk yang sudah dibangun sejak tahun 2017, namun belum difungsikan sampai akhir tahun 2019. Bahkan, di akhir tahun 2019 masih dijumpai adanya pekerjaan pembangunan sarana dan prasarana pasar dengan menelan anggaran sebesar Rp.2.656.000.000,00.

"Ini membuktikan tidak adanya kompetensi perencanaan yang dilakukan sehingga mengakibatkan pemborosan anggaran, bahkan penghambur-hamburan anggaran karena idealnya suatu program pembangunan jika sudah selesai maka akan dirasakan hasil pembangunan tersebut oleh masyarakat," ungkapnya.

Lebih parahnya lagi, sambung Ratama, pembangunan Pasar Induk menuai kontraversi antara pedagang dan Pemko, padahal anggaran untuk relokasi pedagang Pasar Induk sudah dianggarkan di APBD 2019.

"Lain lagi Pasar Kain yang menelan anggaran milyaran rupiah ternyata sampai saat ini masih ada kios di pasar kain yang tidak difungsikan, Pasar Kecamatan yang berlokasi di Kelurahan Mekar Sentosa tidak optimal penggunaanya bahkan pedagang merasa tidak tertarik untuk berdagang di kios pasar kecamatan tersebut. Di lain tempat, tembangunan kolam renang yang kini dihuni oleh hewan tikus, kecoa dan sampah," ucapnya.

Lebih ironisnya lagi, adanya anggaran belanja tidak langsung hibah barang kepada Kejaksaan Negeri Kota T.Tinggi sebesar Rp.6.825.000.000,00 untuk pembangunan kantor baru Kejaksaan Negeri Tebingtinggi tidak jelas nasibnya.

"Apakah di Adendum atau ada kesepakatan yang kurang pas antara pihak-pihak yang berkepentingan. Yang menjadi pertanyaan, apakah hibah barang bisa dikenakan addendum? Ini perlu dipertanyakan dan dievaluasi," ujarnya.

Diakhir laporan, Ratama menegaskan bahwa Pemko Tebingtinggi beserta jajaran sudah waktunya untuk berbenah diri, agar tidak dicap sebagai kota yang tidak mempunyai kemajuan pembangunan.

"Jangan dicap sebagai bagian dari pembangunan Indonesia Maju dan Sejahtera, kota dimana tempat suburnya koruptor serta kota dimana mutu pelayanan publiknya yang rendah," pungkasnya. (Ril)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini