Kuasa Hukum Djarot Desak Hakim PN Medan Tahan Terdakwa Kasus Hoax Dewi Budiati

Sebarkan:
Medan - Rion Aritonang SH selaku kuasa hukum Djarot Saiful Hidayat mendesak Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan menahan terdakwa kasus UU ITE status hoax, Dewi Budiati (54).

Hal ini mengingat fakta yang terjadi pada persidangan perihal terdakwa tidak kooperatif dengan tidak hadir tanpa pemberitahuan.

"Majelis Hakim harusnya mempertimbangkan kembali berkaitan dengan penahanan terdakwa yang selama ini tidak ditahan. Mengingat kemarin waktu sidang di hari Selasa, dia (terdakwa, red) tidak hadir tanpa keterangan. Padahal disini saksi (Djarot, red) sudah kita hadirkan langsung dari Jakarta," ujar Rion sesuai rilis yang diterima redaksi, Jumat (30/8/2019).

Rion mengatakan, banyak kasus lainnya yang dilakukan warga biasa bisa ditahan, hal ini agar azas semua sama di mata hukum bisa terealisasi.

"Banyak orang yang ancaman hukumannya tiga tahun tapi ditahan, karena tidak yakin bahwa si pelaku ini kooperatif. Tindakan ini kita minta supaya hal seperti kemarin supaya tidak terulang kembali, kalau bisa ada jaminan di situ. Karena klien kami juga perlu kepastian hukum," kata pria yang juga menjabat Badan Bantuan Hukum Advokasi (BBHA) PDIP Medan ini.

Sementara, Wakil Ketua Bidang Polhukam DPC PDIP Kota Medan, Tumpal Utrecht Napitupulu SH MH turut mendesak agar terdakwa kasus UU ITE status hoax Dewi Budiati (54) juga ditahan.

Tumpal meminta agar pengadilan dan kejaksaan fair dalam melihat kasus ini, sebab ketidakhadiran terdakwa di persidangan membuat Djarot Saiful Hidayat kecewa.

Seperti diketahui sebelumnya, calon Gubernur Sumut 2018-2023 ini harus rela batal bersaksi dalam persidangan status hoax karena terdakwa Dewi tidak hadir tanpa keterangan pada, 27 Agustus 2019, di PN Medan.

"Dalam hal ini majelis hakim harus fair, jangan gara-gara ada pertimbangan lain jadi berat sebelah. Kita minta supaya persidangan ini cepat berjalan. Kenapa masyarakat biasa ditahan, memang dia tidak? Sementara di mata hukum semuanya sama," ujar Tumpal.

Baginya, dengan tidak hadirnya terdakwa sangat mengecewakan Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPP PDIP yang juga sebagai Anggota DPR RI terpilih ini.

"Sekelas pak Djarot kayak gitu dibuat, kapan lagi masyarakat ada kepastian hukum kalau misalnya ditunda terus. Proses hukum harus tetap berjalan, ini yang kita minta jangan ada ditunda-tunda lagi," beber pria lulusan Master Hukum USU ini.

Tumpal menjelaskan, apabila kejadian serupa terjadi, di mana terdakwa tidak hadir karena status tahanan kota, maka ini dapat dikatakan kecacatan hukum.

"Karena inikan proses orang tidak ditahan (tahanan kota, red) itu karena ada keyakinan jaksa dan hakim bahwa terdakwa kooperatif. Ketidakhadiran terdakwa bisa jadi salah satu kecacatan kriteria untuk tidak ditahan," jelasnya. 

Selanjutnya, Tumpal membeberkan, kasus yang dialami Djarot supaya tidak terjadi lagi pada kontestasi Pilkada serentak berikutnya.

"Apalagi ini sudah mau dekat Pilkada jangan lagi nanti ada hoax terkait dengan siapapun itu kepala daerah. Tetaplah berpesta demokrasi sebagaimana semestinya. Karena 2020 ada juga pilkada serentak, hal ini sebagai pembelajaran buat kita ke depannya," terangnya.

Seperti diketahui, Djarot harus hadir lagi dari Jakarta untuk mengikuti persidangan lanjutan pada 4 September 2019. Seusai sidang Djarot menerangkan dirinya tak menampik bahwa kecewa dengan ketidakhadiran terdakwa.

"Saya baru tahu kalau sakit bisa diprogram, karena tidak ada surat keterangan sakit. Kalau kecewa pasti kecewa dong. Kalau enggak kecewa namanya bohong," kata Djarot seusai sidang.

Ketua majelis hakim, Sriwahyuni Batubara menunda persidangan hingga 4 November 2019. Ia juga menyebutkan, sidang tidak dapat digelar karena ketidakhadiran terdakwa, meski saksi telah hadir.

"Sebab selama ini terdakwa tetap menghadiri persidangan meski terdakwa tidak dilakukan penahanan," jelasnya. 

Taufik penasihat hukum terdakwa menyatakan bahwa pihaknya menerima kabar terdakwa sedang sakit.

“Setiap hari Senin dan Selasa memang jadwal klien kami therapi untuk mengobati sakit paru, lambung dan gula yang dideritanya,” ujar Taufik.

Dalam dakwaan JPU disebutkan, terdakwa Dewi didakwa menuliskan status hoax di akun Facebook miliknya tentang Djarot yang sedang melakukan bagi-bagi uang saat bertemu dengan para kepala desa di Asahan pada 6 Juni 2018 dalam kontestasi Pilkada Sumut 2018.

Dewi didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di mana ancaman dari pelaku yang melanggar pasal ini dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp750.000.000. (Ril)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini