SADIS...! Diculik, Dipenjara dan Dianiaya Aparat Malaysia, Mereka Ini Malah Ditelantarkan Petugas Kedutaan RI

Sebarkan:
Para korban disambangi Direktur Eksekutif Rumah Bahari, Azhar Kasim (paling kanan) 
LANGKAT | Kelima nelayan asal Kelurahan Sei Bilah, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara ini memang sangat menyedihkan. Mereka ditangkap pada tanggal 27 September 2018 sekitar jam 10.00 wib lalu, padahal posisinya masih berada di perairan Indonesia.

“Kami masih berada di perairan Indonesia waktu itu. Soalnya ketika kami ditangkap, kami masih sempat merekap titik koordinat berdasarkan GPS perahu yakni di 4356 (04.43,500-99.56,500). Tapi memang, terkadang jarak 50 mil dari pantai Belawan, kami sering melihat patroli polisi malaysia,” keluh kelimanya saat disambangi Direktur Eksekutif Rumah Bahari, Azhar Kasim, Sabtu (29/6/2019).

Abdul Rahman Ritonga (38), selaku tekong Perahu  Boat PB 64 KM Bunga Laut yang didampingi pada Anak Buah Kapal (ABK) nya, Alfian (44), M Berlian (40), Danu Dirja (30), serta Zulkifli (54), menerangkan, setelah ditangkap oleh Polisi Maritim Malaysia, mereka dibawa ke Batumau, Penang, Malaysia. Lebih kurang 24 jam kemudian, para nelayan itu dipindahkan kembali ke Pulau Penang yang merupakan markas polisi Malaysia selama 48 jam.

Kemudian mereka kembali dipindahkan ke Lokal Bayanbaru selama 14 hari. “Dua hari di penjara itu, kami bertemu dengan Bapak Edi dari Kedutaan RI. Orang nya tinggi besar, bang, kata Danu dan beliau bertanya kepada kami kenapa kalian bisa tertangkap, kami menceritakan semuanya kepada pak Edi termasuk titik koordinat tadi. Lalu beliau mengecek melalui hp miliknya, dan pak Edi mengatakan titik koordinat tersebut masih merupakan perairan Indonesia,” kenang Abdul Rahman.

Selanjutnya, Pak Edi dari Kedutaan RI itu berjanji akan datang kembali, termasuk mendampingi para korban di pengadilan Malaysia. “Tapi sampai kami kembali ke rumah masing masing, tidak ada satu pun perwakilan Indonesia yang mengunjungi kami, kecuali petugas yang datang untuk pembuatan pasport 2 minggu setelah kami bebas menjalani hukum, yakni di penampungan imigrasi Malaysia,” kesal Abdul Rahman diamini kawan-kawannya.

Malah, lanjut Abdul Rahman, setelah kepulangan Pak Edi mengunjungi mereka, pihak kepolisian Malaysia justrui memarahi mereka dan memaksa para nelayan itu untuk menerima semua Berita Acara Pemeriksaan (BAP) buatan polisi Malaysia itu sendiri.

“Mereka mengancam, kalau kami tak mengakuinya, maka kami akan dipersulit dan akan menerima akibatnya. Terpaksalah bang, kami mengakuinya sesuai permintaan mereka, termasuk barang bukti yang telah disiapkan. Padahal itu bukan milik kami,” keluh Abdul Rahman yang kini terancam tidak bisa melaut lagi akibat perahu miliknya telah dirampas oleh pihak Malaysia.

Mirisnya lagi, mereka tidak didampingi pihak Kedutaan RI di Malaysia. Abdul Rahman dan kawan-kawan terpaksa menerima vonis 7 bulan penjara oleh pihak Pengadilan Malaysia. “Itupun vonisna dijatuhkan ketika tidak ada orang lain, hanya pihak pengadilan yang ada. Pengacara yang disiapkan oleh pihak Malaysia tidak memberikan pembelaan kepada kami sebagai tersangka. Lalu setelah vonis, kami dipindahkan ke Penjara Jiawi Seberang Perai, Penang selama 2 hari. Tanggal 10 Desember 2018 kami dipindahkan lagi ke Tapak Perak sampai selesai menjali hukuman,” lirihnya.

Mengalami Perlakuan Kasar

Sembari menunggu pemulangan, Abdul Rahman Ritonga dan kawan-kawan ditempatkan di penampungan Imigrasi Perak pada tanggal 29 April 2019 selama lebih kurang 2 bulan. Di sinilah nasib mereka makin menyedihkan. Dua dari kelima nelayan tersebut mengalami perlakuan kasar dari pihak Imigrasi Malaysia.

Berlian , misalnya. Pria kelahiran 40 tahun lalu ini hingga saat ini masih menderita trauma sakit di kuping sebelah kiri akibat sering mendapat perlakukan kasar. “Masih sakit, bang. Dipukul aku berulang ulang sampai mengeluarkan darah. Gara-garanya hanya karena tugas yang mereka kasih, aku tinggalkan sebentar. Padahal karena saat itu aku sedang sholat,” kenang Berlian.

Lain lagi yang dialami Abdul Rahman Ritonga. “Waktu itu aku hanya memegang terali besi penjara. Tapi aku malah dituduh mau melarikan diri. Gara-gara itu, kaki, tangan, perut dan badanku di bagian belakang dipukul dengan mengunakan pipa karet ukuran 1 1/2 inci. Herannya, mereka itu tak ada melihat langsung, hanya karena mendengar dari tahanan lainnya orang Rohingnya,” kesal Abdul Rahman.

Abdul Rahman merasa yakin, para Imigran gelap Rohingya itu terpaksa menunjuk asalan kepadanya. “Soalnya, waktu sesudah aku dipukul dan tak mengakui tuduhan itu, aku pun diminta menunjuk satu orang tahanan imigrasi dengan tuduhan melarikan diri juga, tapi aku tak mau, karena memang aku tak ada niat melarikan diri. Begitu pun, aku tetap dipaksa,” keluhnya.

Kemudian, 27 Juni 2019, Abdul Rahman dan kawan-kawan diberangkatkan pulang tanpa pernah bertemu dengan perwakilan Indonesia. “Sampai kami di Kualanamu, hanya dijemput sama si Lina, toke kami dan 2 orang yang mengaku sebagai orang perikanan Langkat. Lalu kami pun jalan pulang sama si Lina dan sampai lah kami di Brandan,” kisahnya.

Pemerintah Indonesia Harus Protes Keras...

Atas apa yang dialami para korban, Direktur Eksekutif Rumah Bahari, Azhar Kasim, tak tahan untuk hanya berdiam diri. Aktifis kemanusiaan dan lingkungan hidup ini meminta pemerintah untuk melakukan protes keras kepada Pemerintah Malaysia.

“Mendengar apa yang disampaikan oleh kelima nelayan yang baru saja bebas ini, termasuk keterangan-keterangan dari para nelayan sebelumnya, maka kami berpendapat modus dan gayanya hampir sama. Apa yang dilakukan oleh pihak Diraja Malaysia tersebut, kita harus mendorong pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk melakukan protes keras atas kesewenangan di atas kedaulatan Perairan Indonesia ini,” ketus Azhar.

Dia merasa khawatir, lama kelamaan nelayan nelayan tradisional kita enggan melaut di perairan Indonesia sendiri disebabkan trauma yang mereka alami. Perlindungan negara, menurutnya terlalu lemah. Baik ketika berada di perairan kita sendiri, mau pun ketika para nelayan berada di Malaysia sebagai tahanan.

“Mendengar apa yang disampaikan rekan-rekan nelayan itu, pembelaan sama sekali tidak ada. Bahkan terjadi pembiaran oleh petugas petugas kita di Kedutaan RI di Malaysia. Petugas kita sepertinya kehilangan nyali ketika berhadapan dengan pihak Malaysia. Uuntuk itu saya mendorong presiden RI, dan Kementerian Luar Negeri untuk mereformasi staf kedutaan kita. Mungkin mereka sudah terlalu lama di sana, sehingga abai atas kewajiban mereka terhadap Warga Negara Indonesia, apakah itu TKI, apakah nelayan nelayan kita yang dituduh memasuki perairan mereka, padahal jelas ini penculikan,” protesnya.
Selain itu, Dinas Perikanan Langkat, katanya juga harus pro aktif memberikan perlindungan dan memperhatikan nelayan nelayan Langkat. “Tidak ada nya rasa empati terhadap keluarga korban penangkapan ini. Jangankan bantuan, sekedar menyapa mereka pun sama sekali tidak ada. Saya berharap bupati dan wakil bupati saat ini lebih peduli terhadap nasib nelayan Langkat. Apalagi wakil Bupati Langkat, Bapak Syahafandin merupakan Ketua HNSI Sumatera Utara. Harusnya lebih memahami kondisi nelayan, masyarakat pesisir Langkat. Bupati sebelumnya bapak Ngogesa Sitepu sangat respek jika mengetahui hal hal seperti ini. Ganti saja Kepala Dinas Perikanan Langkat jika tak mau pengurus nelayan ini, jangan hanya mengurus bantuan saja,” ketusnya.(red)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini