Masyarakat Mulai Berani dan Terbuka Melawan Fitnah

Sebarkan:
JAKARTA|Masyarakat di akar rumput mulai menunjukkan keberanian dan terbuka untuk melawan fitnah-fitnah yang di berkembang melalui ceramah-ceramah terbuka.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi dan konferensi pers  “Gerakan Tangkal Fitnah (GTF)” yang digelar Kamis (20/2/19) di Media Center TKN, Menteng, Jakarta Pusat

Diskusi rutin menghadirkan narasumber politisi PDI Perjuangan Budiman Sujatmiko, juru bicara TKN Dini Purwono, dan anggota Direktorat Program TKN Moh. Syihabuddin.

GTF secara rutin mengamati dan menganalisis pola persebaran hoax yang ditujukan kepada Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin.

“Belakangan ini, mulai terjadi kecenderungan adanya resistensi masyarakat secara terbuka terhadap fitnah-fitnah yang ditujukan kepada pasangan Capres-Cawapres #01, terutama terhadap Jokowi,” kata Budiman.

Politisi yang juga penggagas Inovator Indonesia 4.0 tersebut kemudian memaparkan bahwa semburan kebohongan terhadap Jokowi tersebut sama persis dengan yang selama ini banyak dibicarakan sebagai ‘Firehose of falsehood’ alias semburan kebohongan yang dilakukan secara masif, berulang-ulang tanpa malu dan mengabaikan logika dan moral, dan kenyataannya tidak sesuai dengan yang sesungguhnya terjadi.

“Firehose of falsehood  membuat masyarakat semakin bodoh karena masyarakat dipaksa mempercayai isu-isu yang berujung dengan menjelek-jelekkan kinerja Jokowi,” ujar Budiman Sudjatmiko.

Ia menambahkan bahwa sejak setahun yang lalu ia sudah mengamati penggunaan semburan kebohongan dalam politik dengan memanfaatkan teknologi informasi dan ilmu psikologi yang dikombinasikan.

“Hoax adalah kebohongan yang mengandung ujaran kebencian dengan tujuan untuk mengacak-acak emosi manusia,” papar Budiman.

Sementara itu Dini Purwono memaparkan sejumlah kasus perlawanan secara terbuka yang dilakukan seorang jamaah terhadap khotib masjid di Jakarta, Medan, Deli Serdang dan Lubuk Linggau.

“Resistensi secara terbuka itu dilakukan karena jama'ah merasa kecewa dengan khotbah-khotbah yang sifatnya membakar emosi umat. Mereka tidak lagi diam, kini mereka berani secara terbuka melawan,” kata Dini.

Sementara Syihabuddin mengatakan perlawanan terhadap khatib merupakan peristiwa fenomenal, seperti fenomena gunung es bahwa ‘silent majority’ sesungguhnya sudah mulai jengah dan muak terhadap reproduksi kebohongan dan kebencian yang disampaikan sebagian khotib dan penceramah di masjid.

Syihab menambahkan, “Jamaah di masjid sudah mulai berani memprotes materi-materi ceramah yang dianggap provokatif dan penuh kebencian di masjid”, katanya. Secara khusus Syihab melanjutkan “resistensi masyarakat muslim terhadap penceramah provokatif karena ummat perlahan sadar dan merindukan kekhusyukan beribadah dan bersosialisasi di masjid/musholla.

Kaum muslim tidak rela masjid dan musholla yang turut mereka bangun menjadi ajang produsen dan distribusi hoax, kebohongan, dan fitnah. Kaum muslim di pedesaan mulai khawatir bahwa masjid-masjid mereka akan berujung tragis seperti kisah halnya kisah legendaris Masjid Dhiror (Masjid Pembangkang) di masa Nabi Muhammad SAW, yang akhirnya diperintahkan Nabi untuk dihancurkan karena menjadi sentrum fitnah dan perpecahan di tengah masyarakat Madinah kala itu.


GTF mengidentifikasi, terjadi pola perulangan semburan kebohongan dengan mengulang-ulang tema fitnah menggunakan isu atau topik PKI/Komunis, kriminalisasi ulama, TKA Asing-Cina, Utang Luar Negeri, pengangguran, dan Harga Barang Mahal serta tentang buruknya penyelenggaraan pemilu.

“Kalau ada informasi yang membahas topik-topik tersebut, besar kemungkinan bahwa beritanya sudah tidak sesuai dengan kenyataan. Kemungkinan fitnah dan bohongnya besar. Jadi, tidak usah percaya lagi dan tidak perlu dibaca atau ditonton,” pungkas Budiman.(alois)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini