Antara Luhut Binsar Pandjaitan, Jokowi dan Kopassus

Sebarkan:

By: Luhut Binsar Pandjaitan

"Kami perwira Kopassus lebih takut Pak Luhut daripada sama Fretilin," begitulah kata Letjen Herindra, salah satu mantan anak buah saya yang menceritakan kisah saat dulu kami melaksanakan tugas operasi di Timor Timur (Sekarang Timor Leste).

Kadang nostalgia tak terduga seperti ini muncul ketika saya bertemu mantan-mantan anak buah saya. Seperti video ini yang direkam di acara Rapim TNI-Polri tanggal 29 Januari 2019 silam.

Di acara itu saya juga baru dengar apa kata mereka tentang leadership saya sebagai komandan di militer. Harus saya akui, memang betul dulu mereka itu takut sekali kalau lihat saya.

Sekarang kami tertawa bersama mendengar nostalgia itu. Bukan lagi sebagai komandan dengan bawahan, tapi sebagai seorang senior dengan adik-adiknya yang pernah sama-sama menenteng senjata, berjalan puluhan kilometer menjelajah hutan, lalu sama-sama mengalami baku tembak dengan musuh.

Kebersamaan itu menjelma menjadi hubungan baik sampai sekarang. Respek itu timbul dan tetap ada karena pengalaman masa lalu.

Dan tidak ada yang lebih membuat saya bangga selain melihat mantan anak-anak buah saya memiliki karir yang bersinar seperti sekarang.

Lalu pertanyaannya, apakah dulu saya betul terkenal galak?

Ya. Sampai sekarang saya juga masih galak. Walaupun sekarang galaknya pakai ketawa,  beda dengan dulu yang tidak pakai ketawa.

Tapi saya lebih suka memakai istilah tegas, konsisten dan disiplin, bukan galak. Sikap itu melekat dalam pribadi saya sejak dulu.

Sikap tegas seperti itulah yang menyelamatkan nyawa saya dan anak-anak buah saya berkali-kali dari berbagai tugas operasi. Sebagai komandan, saya dulu termasuk yang paling sedikit kehilangan anak buah di medan perang.

Tidak hanya ketegasan, tapi sikap keras juga saya kedepankan saat menyiapkan mereka untuk tugas operasi. Saya tidak pernah kompromi untuk menggembleng mereka dalam latihan-latihan yang super berat.

Satu hal yang saya selalu tekankan pada para prajurit di bawah saya: lebih bagus kau mandi keringat di latihan daripada mandi darah kau di daerah operasi. Karena kalau sampai itu terjadi nanti, yang akan kehilangan kamu adalah keluargamu, anak-istrimu.

Begitulah kehidupan kami sebagai tentara yang sebetulnya ujung-ujungnya adalah ketauladanan. Oleh karena itu saya sebagai pimpinan juga berlatih dengan keras bahkan lebih, saya juga memanggul ransel seberat yang mereka panggul, dan kemungkinan kami mati tertembus peluru musuh di daerah operasi pun sama.

Dengan ketauladanan seperti itu, seorang komandan akan dihormati sebagai pemimpin, karena dia juga melakukan apa yang dia perintahkan pada para anak buahnya.

Sekarang mungkin sebagian dari kita menilai gaya bicara saya selalu kencang. Bukan maksud saya mengumbar marah, tapi kalau saya sudah yakin bahwa sesuatu itu benar, saya tidak akan pernah mau mundur sejengkalpun dari keyakinan saya.

Prinsip yang juga saya pegang teguh adalah tentang kesetiaan. Maka saya tidak pernah akan mau menghianati atasan saya, teman saya, bawahan saya, apalagi NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Sumpah Prajurit.

Karena sebagai perwira saya pikir konsistensi dan dignity itu penting. Jadi kalau kita sekedar mau saja disuruh belok kiri belok kanan, hanya demi keuntungan pribadi, saya bilang di situ kita sudah tidak punya lagi harga diri, tidak punya lagi karakter.

Kedua hal di atas, kesetiaan dan kehormatan, adalah juga yang memagari saya dari manuver yang aneh-aneh.

Maka ketika saya sudah pensiunpun, saya masih tegak lurus terhadap prinsip-prinsip itu, dengan sedikit perbedaan. Jika dulu selalu saya ingatkan prajurit Kopassus untuk jaga nama, derajat dan kehormatan Korps Baret Merah, sekarang saya tambahkan. Bukan hanya Korps Baret Merah tetapi juga NKRI.

Ketauladanan seperti ini jugalah yang ditunjukkan oleh Presiden Joko Widodo sekarang.

Kenapa kami para pembantu-pembantunya di kabinet mau mengikuti kepemimpinan Beliau? Itu karena ketauladanan Beliau di mana Pak Jokowi selalu memberikan contoh dalam bertindak, berpikir, dan bersikap berdasarkan karakter yang sesuai kata dengan perbuatan. Itu adalah bagian dari revolusi mental.

Contoh gampangnya, kalau presiden-nya bersih, tidak mencuri, mana berani kami menteri-menterinya mau mencuri? Tidak ada juga bisnis anak-anak dan istrinya yang terkait dengan pemerintah. Ini seperti yang selalu saya katakan ke mana-mana, kalau kau nggak mau orang maling ya kau jangan maling dulu pertama.

Maka saya pikir, itulah kelebihan Pak Jokowi yang kita harus hormati, yang saya kira sampai sekarang Beliau masih pemimpin yang bisa dipanuti banyak orang.


Saya juga melihat Pak Jokowi masih sesederhana dulu waktu pertama saya kenal, tidak berubah. Saya belum pernah lihat ada perubahan kecuali makin pintar, makin arif, makin berani, dan makin tegas. Inilah kesaksian saya yang sudah sekitar 4,5 tahun ini bekerja bersama Beliau di dalam pemerintahan.

Seorang staf milenial saya di kantor kemudian bertanya, bagaimana kepemimpinan Pak Jokowi di mata menteri-menterinya? Apakah juga galak seperti saya?

Menurut saya, Pak Jokowi adalah orang yang lemah lembut tapi tegas. Setegas Jenderal Kopassus. Hanya saja Beliau mengekspresikannya berbeda dengan cara saya mengekspresikannya. Itu saja.

Kalau saya, sudah tentara, Kopassus lagi, Gultor lagi, Batak pula... Jadi, lengkaplah itu.

Catatan:
Gultor yang dimaksud adalah Sat-81 Kopassus (dulu disebut Detasemen 81 Anti Teroris Kopassus atau Penanggulangan Teror disingkat Gultor) yang saya dirikan dan komandani pertama kali pada tahun 1981.(dikutip dari Fanspage Luhut Binsar Pandjaitan)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini