Dosen Fisipol UMTS Kritik Pernyataan Ketua KPU Soal ‘Orang Gila Bisa Memilih’

Sebarkan:
Dosen Fakultas Fisipol UMTS, Soritua Ritonga S.Sos. MAP 


PADANGSIDIMPUAN | Komisi Pemilahan Umum (KPU) Republik Indonesia  mengeluarkan peraturan tahun 2018 baru - baru ini bahwa penyandang disabilitas mental (gangguan Jiwa) bisa ikut memilih calon Presien dan Wakil Presiden dan calon legislatif pada pemilu 2019 nanti.

Seperti diberitakan di berbagai media, Ketua KPU RI Arief Budiman menyatakan pasien dengan gangguan jiwa bisa menentukan hak pilih dengan syarat diwajibkan menyertakan surat keterangan Dokter saat akan memberikan suaranya.

Dikatakan Arief, hal tersebut sudah ada regulasinya. “Sepanjang tak mengganggu bisa memilih, kalau mengganggu ya tidak bisa,” jelasnya.

Sementara pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan (UMTS) sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik (Fisipol) Soritua Ritonga S.Sos. MAP kepada metro-online.co menanggapi hal ini, bahwa pengidap gangguan jiwa tidak wajar diberikan hak suara untuk memilih karena ini bisa merusak citra dan nilai - nilai demokrasi.

"Ini sangat tidak wajar jika orang mengidap gangguan jiwa boleh memilih, karena mereka sama halnya dengan orang yang dalam keadaan tidak sadar kemudian mereka ini juga tidak memiliki dedikasi," ucap Soritua di ruang kerjanya, Rabu, (28/11/2018).

Dikatakan Soritua, bagaimana seseorang itu bisa menetukan pilihan sementara kondisi kejiwaan seseorang itu tidak sehat dan dia dalam keadaan tidak sadar. "Keputusan yang diambil oleh KPU ini sangat berdampak buruk pada citra demokrasi jika orang pengidap gangguan jiwa masih dipaksakan untuk ikut memilih," cetus Soritua.

Soritua mengatakan, dirinya sangat tidak setuju jika orang dengan gangguan jiwa ikut memilih. "Saya berharap KPU harus melakukan pengkajian ulang kembali tentang peraturan yang baru ini  karena bertentangan dengan aspek kewarasan pemilu. Janganlah kita bebani penyandang gangguan jiwa untuk memilih, Mereka kan harus disembuhkan dan perlu perawatan," tandas Soritua.

Soritua juga menjelaskan bahwa memang semua warga negara berhak untuk memilih atau dipilih. Namun dalam kalimat hak sebagai warga negara itu ada persyaratan untuk terpenuhinya hak.

"Berhak itu kepada siapa dulu, ada persyaratannya? Semua warga berhak untuk dipilih dan memilih, tetapi tidak semua orang bisa memilih, ada persyaratannya. Salah satunya adalah usia diatas 17 tahun kemudian harus sehat jasmani dan rohani atau mentalnya. Jika penyandang disabilitas mental ini ikut menentukan hak pilihnya kemudian mereka ada surat pernyataan dari Dokter, apa bisa itu dijamin bahwa mereka itu benar - benar sembuh dan bisa dipertanggungjawabkan?" tegasnya.

Kemudian Soritua meminta agar KPU selektif dalam membuat suatu keputusan agar nanti nilai - nilai demokrasi ini bisa lebih baik untuk ke depannya dan tidak merusak citranya. "KPU harus selektif dulu dalam membuat keputusan, coba kita berfikir dulu, orang - orang yang duduk di KPU itu yang pilih siapa? Yang pilih mereka kan orang - orang yang waras juga, makanya mereka dipercayakan untuk menjalankannya," ungkap Dekan UMTS ini.

Dia berpesan agar dalam menetukan pilihan pada saat pemilu 2019 nanti masyarakat harus lebih jeli dan selektif dalam memilih pemimpin maupun wakil rakyat nanti. “Kita menghimbau dan berpesan kepada masyarakat harus lebih selektif dalam menetukan pilihannya nanti karena ini menyangkut masa depan yang sangat panjang, jangan hanya memilih pemimpin atau wakil rakyat dengan melihat dan terpengaruh dari tampangnya saja," pungkasnya.(syahrul)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini