Menakar Peluang Politisasi Isu SARA Menuju Pilpres 2019

Sebarkan:

Oleh : Firman Jaya Daeli (Mantan Komisi Politik Dan Hukum DPR-RI)


Indonesia Raya dari semula sudah menjadi sebuah negara bangsa kuat dan bersatu disebabkan karena keberadaan Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam dan berbagai macam suku, etnik, adat istiadat, budaya, bahasa, agama, kepercayaan, ras, golongan, profesi, dan lain-lain.

Keanekaragaman dan kemajemukan yang mewujud dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini semakin mengukuhkan dan meneguhkan kehadiran Indonesia Raya dalam perkembangan dan pergaulan di antara negara-negara kawasan dan dunia internasional. Justru karena Bhinneka Ika inilah yang merupakan basis kuat dan kemudian menjadikan masyarakat bangsa Indonesia semakin bersatu dan berdaulat. Kekayaan Indonesia akan kepelbagaian dan kebhinnekaan latar belakang masyarakat Indonesia sudah merupakan fakta historis dan kenyataan sosiologis.

Tugas panggilan dan tanggungjawab moral bersama untuk mempertahankan dan menumbuhkan semangat dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Falsafah dan ideologi Pancasila juga berdiri tegak lurus untuk mendukung dan menjalankan Bhinneka Tunggal Ika yang berintikan pada adanya berbagai suku, etnik, adat istiadat, budaya, bahasa, agama, kepercayaan, ras, golongan, profesi.

Sila-Sila Pancasila memastikan untuk terus menerus membangun masyarakat Indonesia secara berkemanusiaan, dan memperlakukan masyarakat dengan penuh nilai kemanusian dan keadaban tanpa membeda-bedakan dan tanpa mendiskriminasi warga masyarakat apapun latar belakangnya.

Fakta dan kenyataan masyarakat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memang sungguh-sungguh amat berbhinneka. Lagi pula kebhinnekaan ini justru semakin memperkuat Indonesia, sehingga sesungguhnya dan semestinya tidak perlu ada lagi pikiran, sikap, tindakan, dan gerakan aneh yang mencoba-coba menggulirkan, memainkan, dan menggoreng issue SARA.

Mencoba-coba saja issue SARA sudah jelas tidak memiliki dasar etik moral melakukannya apalagi mempraktekkan dan mempolitisasi issue SARA sudah pasti tidak mendapati tanggapan, perhatian, dan dukungan masyarakat. Malahan akan ditentang dan dilawan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia jikakau masih ada segelintir kecil dan kalangan terbatas yang mengusung dan mempolitisasi issue SARA.

Pewacanaan issue SARA oleh segelintir kecil dalam bentuk politisasi issue SARA pada dasarnya merupakan kepentingan pribadi dan kelompok segelintir kecil tersebut. Pewacanaan ini bukan karena berdasarkan kepentingan umum dan kehendak masyarakat, tidak juga karena berdasarkan kebutuhan khalayak dan keinginan bangsa Indonesia. Apabila masih ada juga sekelompok kecil yang masih betah membawa-bawa issue SARA dengan memanfaatkannya secara brutal dan vulgar maka dapat dipastikan bahwa pemanfaatan tersebut akan mental dan terpental dengan sendirinya secara langsung.

Sistem politik yang konstitusional (berbasis konstitusi UUD 1945) dan sistem politik yang elektoral (berbasis pemilu dan kedaulatan rakyat) secara apapun pasti menyandarkan diri dan meletakkan posisi pada kualitas visi, misi, program Partai Politik (Pileg) dan Pasangan Calon (Pilpres dan Pilkada). Dan juga berkaitan dan berpedoman pada profesionalitas, integritas, kredibilitas, dan kualitas rekam jejak, pengalaman, dan kematangan sistem kepartaian dan personalitas orang sebagai calon di ranah pileg, pilpres, dan pilkada.

Sekelompok kecil orang dan segelintir kecil manusia yang melakukan politisasi issue SARA disebabkan karena beberapa faktor. Pertama. Karena kurang dan tidak memiliki sama sekali dan sedikitpun perihal yang baik, benar, positif, berhasil, dan berprestasi yang harus disosialisasikan, dikampanyekan, dan diberitahukan kepada masyarakat umum dan masyarakat pemilih.

Kedua, karena kurang dan tidak memiliki kualitas visi, misi, program yang layak, pantas, rasional, logis, dan diterima publik. Ketiga, karena kurang dan tidak memiliki pengalaman matang kemampuan memadai, kepercayaan diri mumpuni, dan kepribadian kuat yang diperhitungkan dan dinilai masyarakat.

Akibat selanjutnya adalah modal issue satu-satunya yang tersisa dan terpakai adalah melakukan politisasi issue SARA.

Ada juga sebagian terbatas dan sekelompok kecil yang tidak mengikuti kontestasi pemilu apapun namun memiliki nafsu besar dan ambisi tinggi untuk memperalat kontestan melalui pola aliansi dan kolaborasi jahat serta memanfaatkan momentum di luar sistem dan jalur demokratis konstitusional (Pemilu) dengan cara menggunakan dan memainkan issue SARA. Misi dan agenda ini berintisari pada motif politik kekuasaan dan pergantian atau perubahan ideologi, sistem, dan prinsip-prinsip mendasar berbangsa dan bernegara.

Meskipun politisasi issue SARA masih dimanfaatkan, digoreng, dan dimainkan oleh sekelompok terbatas dan segelintir kecil kaum radikal fundamentalis ekstrimis namun gerakannya semakin menjadi kecil dan tidak mempengaruhi apa-apa secara memadai bahkan tidak “menendang” sedikitpun.

Mengecilnya dan semakin memudarnya gerakan yang mengusung dan membawa-bawa issue SARA disebabkan karena semakin tidak berpengaruh lagi dan tidak mendapat tanggapan sedikitpun dan tidak menerima dukungan sekecilpun dari masyarakat.

Komunitas masyarakat dan bangsa Indonesia sudah semakin mengetahui dan menyadari bahwa gerakan dan aksi politisasi issue SARA adalah hanya merupakan gerakan kecil dari kalangan terbatas yang bermotif kepentingan pribadi dan kelompok kecil. Elemen ini hanya dan selalu bermodalkan issue SARA dengan mengatasnamakan bahkan mencatut. Gerakan dan aksi politisasi ini sesungguhnya bersifat tong kosong dan lagi pula sudah kehilangan makna dan telah kehilangan pijakan relevansi apapun.

Indonesia Raya secara sosiologi budaya pada intinya merupakan gugusan dan kawasan wilayah kerakyatan yang terdiri atas beraneka ragam dan berbagai macam suku, etnik, adat istiadat, budaya, bahasa, agama, kepercayaan, ras, golongan, profesi, dan lain-lain (Bhinneka Tunggal Ika). Kenyataan sosiologi budaya ini tidak bisa dinafikan dan dihilangkan dengan melakukan politisasi issue SARA karena issue SARA yang dimainkan pasti dan tetap mental dan terpental langsung dengan sendirinya.

Indonesia Raya secara sosiologi politik pada dasarnya memiliki sejarah lama dan panjang mengenai aspirasi masyarakat di dalam setiap Pemilu (Pileg) dan juga Pilpres. Masyarakat umum dan masyarakat pemilih senantiasa menghendaki keterbukaan dan kebhinnekaan, juga mendukung, memilih, dan memenangkan visi, misi, program, agenda kebangsaan dan kebersamaan.

Pesan moral politik di balik ini adalah bahwa masyarakat dan pemilih dengan tegas dan secara terang benderang menolak dan melawan politisasi issue SARA. Indonesia Raya secara sosiologi ekonomi pada gilirannya berorientasi pada kemauan untuk menuju, merasakan, dan menikmati keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran. Materi program strategis dan kegiatan teknis yang ditawarkan dan dijalankan untuk membangun dan menggerakkan perekonomian maka akan didukung dan selanjutnya didorong oleh masyarakat.

Gerakan dan aksi politisasi SARA akan tenggelam dan hilang ditelan bumi oleh gerakan dan aksi kebhinnekaan, kebangsaan, dan keekonomian yang bergotong royong. Lawan dan hentikan politisasi issue SARA.

Selamat tinggal politisasi SARA. “Jalan” tempuh dan “rumah” tinggal bersama masyarakat dan bangsa Indonesia yang menetap adalah Pancasila sebagai falsafah dan ideologi NKRI yang berdasarkan UUD 1945 dengan Bhinneka Tunggal Ika melalui keadaban sistem politik dan sistem demokrasi.(*)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini