Peringatan Hari Mangrove Sedunia, 80 Persen di Langkat Beralih Fungsi

Sebarkan:
Hutan mangrove Langkat
LANGKAT-Tepat pada hari Mangrove sedunia 26 Juli 2018, kondisi kawasan hutanan Mangrove di Kabupaten Langkat tergolong kritis dan memprihatinkan. Ironi, kurang lebih 80 persen hutan Mangrove rusak tak dirawat, dirambah secara ilegal dan rata-rata dialihfungsikan jadi perkebunan sawit.

Ketua Komunitas Rumah Bahari, Azhar Kasim yang bergerak sebagai pegiat Mangrove menjelaskan kondisi hutan Mangrove luasan di Langkat kerusakan pesisir timur itu 80 persen rusak. Temuannya di beberapa lokasi, Mangrove dieksploitasi paksa oleh pengusaha-pengusaha, bahkan ada yang memakai nama oknum-oknum pemerintahan dan organisasi kemasyarakatan.

"Khusus di Langkat saja, dari luasan yang ada kondisi hutan Mangrove 80 persen rusak, kalau seribu hektare berarti 800 hektare rusak. semua rata-rata disengaja dilakukan perambah dari kalangan pengusaha-pengusaha bermata sipit ditanami sawit. Ada atas nama oknum polisi, pejabat pemerintahan, ada juga makai nama oknum Ketua OKP masang plank di dalam kawasan," katanya di Stabat, Kamis (26/7/2018)

Dijelaskannya bahwa saat ini kawasan hutdn Mangrove ada di 9 Kecamatan, mulai dari jalur Sicanggang sampai Pematangjaya. Selama ini pemerintah terkesan membiarkan eksploitasi secara ilegal tanpa penindakan secara hukum. Bahkan disinyalir ada oknum Dinas Kehutanan ikut memudahkan perambahan ilegal.

"Caranya pakai SK camat, macam-macam lah. Masalahnya penegakan hukum Dinas Kehutanan, gak jelas, karena oknum pengusaha mengklaim itu tanah dia. Penertiban bukan solusi penyelamatan hutan yang sudah dialihfungsikan. Pemkab sekadar buang-buang uang negara," katanya.

Azhar Kasim juga membeberkan ada kawasan lindung ekowisata bahari di Pulau Sembilan dijadikan perkebunan sawit, ada kawasan perumahan di Sungai Bilai padahal itu kawasan Mangrove, dan dari pemerintah cuma dikasih peringatan saja.

"Jokowi kan ada program Tora niatnya baik. Tapi banyak ditunggangi oknum-oknum. Syarat Tora kan ada aturan yaitu kawasan hutan yang sudah didomisili penduduk lebih 20 tahun. Kondisi sekarsng banyak oknum mau suka-suka buat hutan jadi Tora. Kita minta menteri kehutanan jangan asal-asalan menentukan serara pribadi satu daerah menjadi Tora," tegasnya.

Aktivis Mangrove lainnya, dari Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Sumut, Said menjelaskan soal kerusakan hutan khususnya mangrove, bahwa sesuai informasi di Kabupaten dan Kota di Sumut persentase 75 persen rusak. Baik kawasan hutan produksi, lindung dan konservasi.

"Kami tim Pokja percepatan kehutanan sosial kesulitan mengajukan usulan kelompok terkait kehutanan sosial, kendalanya karena kehutanan dikuasai oknum pengusaha sawit ilegal. Kita tidak mau kerusakan hutan jangan dicocok-cocokan berkolaborasi mereka, antara perambah dan pengusaha ilegal. Kami akan membuat gugatan untuk Dinas Kehutan Provinsi Sumut," katanya.

"Kita akan meminta Jokowi dan tim yang punya program turun ke lapangan terkait hal ini. Kita minta laporan-laporan kita dibawa ke ranah pengadila," tambahnya.

Warga Kelompok Tani Hinai Indah, Sei Curai Indah, Emma selama ini mengeluhkan penggarapan oknum-oknum ilegal pengambil tanah rakyat. Ia tak segan menyebut nama salah satu oknum oengusaha yang sering mengatasnamakan salah satu Ketua OKP Sumut.

"Satu penggarap ilegal AK, dia itu warga keturunan, penduduk Tritura Medan dia punya lahan dulunya di Kuala Gebang, jadi ada pemekaran masih di Gebang dia. Punya dia di Pasarawa. Dia pindah karena ada lahan. Padahal itu penduduknya Sei Curai Selatan Babalan, dulu namanya Pulo Piye, sekarang Sukamulya," katanya.

"Dia pakai nama besar KS, tahun 2014 ada lahan milik KS SK Camat seluas 240 hektare. Ada berdiri rumah permanen ada plank dinas kehutanan sama sebelahnya ada plang KS juga. Pernah dieksekusi 2017, tapi namanya etnis keturunan dia gak berani turunkan, pakai nama besar KS dan OKP," tukasnya seraya membeberkan ada 17 pengusaha di Pasarawa.

Kepala Seksi Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan di KPH Wilayah I, Stabat, Julpanijar Alamsyah, tidak menepis adanya perambahan hutan mangrove yang dilakukan para pejabat Pemkab Langkat, pengusaha mau pun masyarakat.

"Mungkin bisa jadi ada (pejabat Pemkab) , tetapi memakai nama orang lain. Tidak mungkin seorang pejabat berani menggunakan namanya untuk persoalan ini," ucap Julpanijar

Mirisnya, Julpanijar tidak dapat menjelaskan secara rinci data dan jumlah pengusaha dan luas lahan kawasan hutan mangrove yang dikuasai oleh swasta serta masyarakat di Kabupaten Langkat.

"Berapa luas lahan yang dikuasai kami tidak tahu. Kami memang tidak pernah mau mengukurnya, karena kalau diukur secara tidak langsung kami ingin melegalkan mereka. Padahal kita sama sekali tidak mau mereka berada di sana," kata Julpanijar.

Dijelaskan Julpanijar, luas lahan kawasan hutan yang masuk dalam pengawasan KPH Wilayah I Stabat, sebanyak 69.907,89 hektar yang terbagi menjadi tiga, yakni hutan lindung 4.401,81 hektar, hutan produksi 25.101,22 hektar, dan hutan produksi terbatas, 40.404,86 hektar.

Dari total kawasan hutan tersebut, sebagian di antaranya dimanfaatkan oleh pengusaha dan masyarakat sesuai peraturan yang berlaku. Untuk izin pemanfaatan sebanyak 21.670,40 hektar, izin pinjam pakai kawasan hutan 115,42 hektar dan izin kemitraan 1.180,53 hektar. Sementara sisanya dikuasai pengusaha dan masyarakat serta lahan bakau yang tidak bisa dikelola.

Saat ini ada sekitar 12 kelompok yang mengajukan permohonan dan baru dua yang diberi izin dari kementerian. Sementara lainnya masih dalam proses. (lkt-1)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini