Moeldoko: Seni sebagai Upaya Jaga Kesatuan Bangsa

Sebarkan:


JAKARTA – Salah satu ciri terjadinya perang kebudayaan adalah munculnya upaya masif untuk menghilangkan keyakinan atau ideologi sebuah bangsa. Menghadapi ancaman itu, terutama dengan makin maraknya hoaks, berita palsu dan ujaran kebencian yang berkembang begitu garang, kita tak boleh limbung, was-was, atau skeptis. Sebaliknya, kita harus menjaga dan memperkuat keyakinan dan konsensus yang telah didirikan para ‘founding fathers’ bangsa ini.

Pernyataan itu disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat hadir dalam pembukaan pameran karya seni kolaborasi Goenawan Mohamad dan Hanafi bertajuk ’57 x 76’  Galeri Nasional, Jakarta Pusat Kamis, 21 Juni 2018.

“Melalui seni, kita sungguh amat berharap agar nilai-nilai luhur bangsa itu, terus terjaga,” kata Moeldoko.

Pameran ini menampilkan 217 karya seni yang dikerjakan bersama dua seniman berbeda latar belakang selama enam bulan terakhir.

Moeldoko mengungkapkan, momentum ini merupakan kolaborasi batin di antara dua ‘empu’ yang sama-sama merendahkan hatinya untuk membuat kesetaraan. “Hasilnya, terjadilah percakapan indah yang kemudian melahirkan simbol-simbol baru,” paparnya.

Tentang angka ’57 x 76’, yang sebenarnya merupakan usia dari dua seniman itu, Moeldoko memiliki ‘rumusan’ unik. Dua angka itu jika berjumlah menjadi 133. “2018 dikurangi 133 adalah 1885. Pada 1885, Patung Liberty yang dibuat oleh perupa dari Perancis tiba di Amerika Serikat. “Patung Liberty tangan kanannya menjunjung tinggi obor kebebasan, sementara tangan kiri memeluk erat konstitusi. Ini menunjukkan, bahwa dalam demokrasi, konstitusi harus selalu melekat di hati,” urai Panglima TNI 2013-2015 itu.

Moeldoko juga menunjukkan salah satu karya dalam ruang pameran, yakni sebuah payung tanpa kain, yang lebih menyerupai tongkat. “Karya itu menunjukkan pentingnya kita memiliki pegangan atau penuntun. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia perlu memiliki pegangan yang kuat,” tegasnya.
 
Mantan Wakil Gubernur Lemhanas ini memaparkan, berbagai kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi telah menjadi ‘payung’ dan tongkat penuntun bagi seluruh rakyat Indonesia. “Kebijakan BBM Satu Harga, misalnya. Itu adalah upaya hadirnya sebuah negara untuk melindungi masyarakatnya tanpa terkecuali,” ungkapnya.

Begitu pula pembangunan infrastruktur yang dilakukan Presiden Jokowi merupakan usaha membangun peradaban. “Pembangunan infrastruktur di berbagai kawasan tertinggal membuat rakyat di kawasan itu merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang diperhatikan pemerintah,” jelas pria yang juga menjabat Ketua Umum HKTI ini.

Selain Moeldoko, pembukaan pameran juga dihadiri pengusaha properti dan pencinta seni Ciputra, Direktur Garuda Indonesia Pahala Nugraha Mansury, Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto serta Direktur Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Restu Gunawan.

Kurator Agung Hujatnikajenong menjelaskan, sisi menarik kolaborasi Goenawan Mohamad dan Hanafi karena dua seniman itu tak hanya berpameran bersama, tapi mereka juga melebur, menghilangkan identitas masing-masing.

“Selama ini, mitos seniman itu dikenal sendiri, sebagai individu tunggal, dari membuat sketsa sampai merealisasikan sebuah lukisan. Tapi, selama 6 bulan ini, Goenawan Mohamad dan Hanafi melakukan proses dengan sangat organik, bekerja bersama atas dasar saling percaya,” ungkap Agung.

Sementara itu, Goenawan Mohamad menyatakan rasa syukurnya bisa berpameran di Galeri Nasional, sebuah tempat yang diperebutkan banyak orang. “Lebih surprise lagi atas kehadiran Pak Moeldoko, seorang jenderal yang dekat dengan Presiden, serta memiliki apresiasi seni tinggi,” katanya.

Adapun Hanafi juga merasa bangga bisa berkolaborasi dengan seniman bernama besar seperti Goenawan Mohamad. “Beliau konsisten menulis Catatan Pinggir di Tempo lebih dari 40 tahun. Mas Gun selalu punya jawaban tentang sesuatu,” kata Hanafi.(alois)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini