Akhirnya Revisi UU Terorisme Disahkan, Ini Poin-poin Baru nya..

Sebarkan:

Akhirnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) menjadi undang-undang.

Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (25/5/2019).

Pengesahan berjalan mulus tanpa ada interupsi dari anggota Dewan. "Apakah RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang ?" ucap Wakil Ketua DPR Agus Hermanto yang dijawab 'setuju' oleh para anggota DPR yang hadir.   
Sebelumnya, dalam rapat kerja antara DPR RI dan pemerintah pada Kamis (24/5/2018) kemarin, telah disepakati definisi terorisme yang selama ini menjadi perdebatan dalam pembahasan.

Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat menambahkan frasa motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Adapun definisi tersebut berbunyi, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Ketua Pansus Terorisme DPR RI M. Syafi'i mengatakan ada penambahan banyak substansi pengaturan dalam RUU tentang Tindak Pidana Terorisme guna menguatkan pengaturan yang telah ada dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Penambahan substansi tersebut, kata Syafi'i, antara lain mencakup perubahan signifikan sistematika undang-undang, serta penambahan bab pencegahan, penanganan korban, kelembagaan, pengawasan dan peran TNI.

"RUU saat ini mengatur hal secara komprehensif, tidak hanya bicara pemberantasan namun juga aspek pencegahan, penanggulangan, pemulihan, kelembagaan dan pengawasan," kata Syafi'i.

Dia menjelaskan, RUU tersebut juga meliputi ketentuan berkenaan penangkapan dan penahanan tersangka pelaku tindak pidanaterorisme berdasarkan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

Selain itu, lanjut Syafi'i, RUU tersebut menambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban aksi terorisme secara komprehensif mulai dari definisi korban, ruang lingkup korban, dan pemberian hak-hak korban yang belum diatur dalam undang-undang sebelumnya.

Undang-undang sebelumnya, menurut dia, hanya mengatur kompensasi dan restitusi saja. "RUU ini telah mengatur pemberian hak berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santuan bagi korban meninggal dunia, pemberian restitusi dan kompensasi," ungkapnya.

Syafi'i meminta pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah paling lambat 100 hari setelah RUU itu disahkan menjadi UU. 

"Kami amanatkan PP itu paling lambat 100 hari setelah disahkan menjadi UU," kata Syafi'i.

Lebih lanjut menurutnya, setiap UU perlu turunan, yaitu Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana dari setiap UU. 

Dia mengatakan RUU Perubahan Atas UU Nomor 15/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disetujui menjadi UU memerlukan Peraturan Presiden untuk mengatur pelibatan TNI dalam menanggulangi terorisme.

Syafi'i menekankan, dalam penyusunan Peraturan Presiden, DPR meminta pemerintah menyusun aturan itu dengan mengacu pada UU Nomor 34/2004 tentang TNI dan UU Nomor 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Terorisme bukan hal yang terkait pelanggaran hukum pidana semata namun juga gangguan keamanan dan kedaulatan serta ancaman kepada negara dan rakyat.

"Kedua, dalam penyusunan perpres, presiden harus berkonsultasi dengan DPR. Ketiga, penyusunan perpres maksimal satu tahun setelah UU disahkan," katanya.

Selain itu, Syafi'i menilai, dalam RUU Antiterorisme banyak pasal baru yang mempersempit gerak teroris dengan mengatur sedemikian rupa. Misalnya yang termasuk tindak pidanaterorisme adalah: ikut serta dalam aksi teror, ujaran kebencian, aktor intelektual, mengikuti latihan militer atau paramiliter (di dalam dan luar negeri), ikut memasukkan bahan ledak ke dalam negeri ataupun menjual bahan ledak ke negara lain.

Namun, dia menjelaskan, RUU itu memiliki juga aspek kemanusiaan kepada terduga, pelaku, dan tersangka-terdakwa kasus terorisme.

"Berhak didampingi pengacara dan ditemui keluarga kecuali dalam skala tingkat kejahatan tertentu," pungkasnya. (ril/Tri)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini