Peran RI Dalam Hubungan AS Dengan Asia Tenggara Harus Diperhitungkan

Sebarkan:

"Tulisan saya dimuat dalam harian The Straits Times di Singapura tanggal 1 Desember 2017 dengan judul _Why Indonesia matters in U.S. ties with South-East Asia_. 

Bagi yang berminat membacanya, berikut saya posting terjemahan bebasnya:"


Oleh : Luhut B. Pandjaitan


Kunjungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ke sejumlah negara di Asia awal November 2017 lalu harus diakui merupakan sebuah tonggak penting dalam kebijakan luar negeri pemerintahannya. Meskipun banyak kalangan mengkritisi tidak adanya terobosan baru yang dilakukan, tetapi paling tidak itu menunjukkan usaha memperbaharui komitmen negara adidaya tersebut dengan mitranya di kawasan Pasifik Barat.

Meskipun banyak yang mengkhawatirkan bahwa Presiden Trump akan membawa sikapnya yang sering dianggap kontroversial di bidang perdagangan bilateral, tetapi cukup membesarkan hati bahwa ia justru tidak bersikap keras terhadap China. Malahan ada kesan bahwa Trump bisa mempunyai chemistry yang sama dengan Presiden China Xi Jinping sehingga diharapkan itu berdampak pada relasi dan keamanan di belahan dunia ini.

Kegiatan luar negeri Presiden AS itu pada satu tahun pertama pemerintahannya bisa juga diperlambangkan sebagai simbol dari pengulangan perhatian AS ke kawasan Pasifik Barat dan Asia Tenggara pada khususnya, dimana ASEAN menjadi pilar utamanya dan Indonesia berperan sangat penting serta tidak dapat diabaikan dalam hal ini. Karena itulah bisa dikatakan bahwa hubungan yang semakin erat antara Jakarta dan Washington secara langsung akan memperkuat hubungan Amerika dengan kawasan Asia Tenggara.

Menurut pandangan saya, ada tiga isu krusial dalam hubungan bilateral antara AS dengan Indonesia. Pertama, adalah stabilitas regional. Kedua, hubungan perdagangan, dan ketiga penumpasan teror dan kekerasan ekstrim. Bukan kebetulan bahwa kita di Indonesia dan AS mempunyai kepentingan bersama dalam tiga isu di atas bila ingin hubungan bilateral tersebut ditingkatkan lagi di masa-masa mendatang.

Saya ingin menggarisbawahi bahwa sangatlah jelas AS harus menganggap tiga isu di atas sebagai hal yang penting. Negara kita adalah negara yang paling besar di kawasan Asia Tenggara baik dalam luas wilayah, populasi dan juga ekonomi. Politik luar negerinya yang bebas dan aktif memungkinkan Indonesia bergerak dinamis dalam percaturan dunia sekarang ini. Tanpa ingin mengatakan bahwa RI mengabaikan para pemain lain di kawasan ini tetapi sekali lagi, Indonesia terlampau besar untuk diabaikan, dan ini sudah diakui oleh kekuatan lain seperti China, Rusia, Jepang dan India. Sepatutnya Amerika Serikat bersikap serupa, meskipun kita tahu bahwa karena sibuk dengan banyak urusan global yang lain, bukan tidak mungkin AS bisa abai dan menyebabkan beberapa negara penting justru luput dari wawasan strategis Washington.



Kita patut sayangkan bila pengabaian tersebut terjadi terhadap Indonesia dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dan kekhawatiran ini bukan tanpa alasan karena hubungan dengan China menurut pandangan saya begitu besar dimensi strateginya bagi AS yang berkaitan langsung dengan sekutu-sekutu terdekatnya yaitu Jepang dan Korea Selatan dan ini menyebabkan kawasan Asia Timur Laut mendapat perhatian berlebihan sehingga mengkerdilkan pentingnya kawasan Asia Tenggara dan India. Bila hal ini memang menjadi kenyataan maka kawasan Asia Tenggara bisa “lenyap” dari peta strategis negara adidaya itu, padahal justru kawasan inilah merupakan satu-satunya penghubung Asia Utara dan Asia Selatan.

Adalah elok bila strategi kebijakan AS harus berfokus pada penguatan hubungan bilateral dengan negara-negara Asia Tenggara dan dengan institusi ASEAN. Tidaklah bisa dibayangkan bila AS bisa membangun hubungan ketahanan dan keamanan yang mantap di Asia Tenggara sebagai penyekat antara China dengan kawasan Samudra Hindia tanpa melibatkan Indonesia secara penuh. Tentu saja itu tidaklah sampai mengorbankan kepetingan bilateral AS dengan negara-negara lain karena hubungan internasional bukanlah sebuah zero-sum game. Kita yakinkan bahwa kehadiran RI dalam peta kepentingan AS di Asia Tenggara itu penting bila stabilitas dan keamanan kawasan menjadi tujuan utamanya.

*Perdagangan dan Terorisme*

Bagaimana mengenai dua subjek lainnya? Masalah perdagangan bilateral memang menjadi isu yang penting bagi AS dengan beberapa negara lainnya dan umumnya terlalu difokuskan pada soal defisit perdagangan, termasuk juga dengan Indonesia.  

Menurut data dari Kantor Perdangan AS (USTR, United States Trade Representative) negara tersebut punya defisit perdagangan sebesar US$13,2 milyar pada tahun 2016 lalu. Defisit perdagangan tersebut memang tidak menyenangkan beberapa pihak di Amerika, tetapi patut Amerika melihat defisit tersebut dari perspektif yang lebih luas lagi dan bukan sekedar angka belaka. Ini juga saya sampaikan langsung kepada Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross yang saya temui di Washington DC beberapa waktu lalu.

Indonesia mencoba memberikan gambaran bahwa meskipun terdapat defisit yang besar dari sisi AS dalam perdagangan bilateral tetapi haruslah dipertimbangkan bahwa itu berperan dalam membuat Indonesia mampu membangun kembali perekonomiannya setelah terdampak krisis tahun 1998 lalu, dan kini menjadi perwakilan kawasan Asia Tenggara dalam kelompok G-20. 

AS tentu mengetahui bahwa selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan bahkan Bank Dunia meramalkan bawa dengan pertumbuhan seperti sekarang ini, pada tahun 2030 mendatang, RI akan jadi negara dengan perekonomiannya nomor 5 terkuat di dunia.

Sekedar gambaran, lalu lintas perdagangan antar kedua negara tersebut pada tahun 2016 lalu mencapai US$ 25 miliar dengan ekspor AS Indonesia hampir dua kali lipat dibanding satu dekade sebelumnya, yaitu mencapai US$ 6 milyar dan impor Amerika adalah US$ 19,2 milyar.  

Isu ketiga yang penting adalah dalam peperangan melawan gelombang terorisme dan ekstrimitas agama. Indonesia sebagai negara Muslim terbesar jumlahnya di dunia sangat menyadari hal tersebut, dan harus diakui banyak kalangan di Indonesia yang merasa terganggu dengan ucapan atau sikap yang agak anti-Islam dari para pemimpin AS era Trump sekarang ini. Persepsi demikian cukup kuat serta tidak mudah sirna kecuali pihak AS secara sungguh-sungguh memperlihatkan bahwa masalah keterbukaan menganut agama dan kepercayaan masing-masing di negaranya tidak pernah ditanggalkan. 

Lepas dari soal di atas, AS dan RI berada di pihak yang serupa melihat ancaman terorisme sebagai salah satu ancaman global, dengan catatan bahwa sesungguhnya korban dari teror itu justru lebih banyak kaum Muslim dibanding non-Muslim. 

Pada sisi lain kita akui bahwa keberhasilan perang yang panjang melawan kelompok ISIS di Irak dan Suriah sebagian besar adalah berkat peran langsung Amerika. Karena itu pula patut kita mengingatkan bahwa ada ancaman dalam bentuk baru, yaitu kembalinya para bekas pengikut ISIS ke kawasan asal mereka di Asia Tenggara. 

Kasus pemberontakan di Filipina Selatan yang belum lama ini mampu menguasai kota Marawi dalam jangka waktu yang cukup lama menunjukkan betapa ancaman tersebut tidak boleh kita pandang enteng karena itu merupakan bukti bahwa jejaring eks ISIS cukup luas dan efisien dalam mengatur pendanaan atau logistik, pelatihan militer dan kemampuan membangun teror.

Jadi, stabilitas kawasan, hubungan ekonomi dan kemampuan menghadapi ancaman terorisme adalah kata kunci sesungguhnya yang mempertautkan antara AS dan Indonesia lebih erat lagi.(***)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini