Tansiswo Siagian Kembali Luncurkan Buku Berbahasa Batak "Ilu Ni Dainang"

Sebarkan:

Medan - Sastrawan Batak Tansiswo "sipalambok pusu-pusu" Siagian bersama GMKI Medan kembali meluncurkan buku edisi Torsa batak dengan judul "Ilu Ni Dainang" di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Medan, Jalan Iskandar Muda No 107 A, Sabtu (11/11/2017).

Tansiswo yang juga merupakan senior GMKI Medan mengakui bahwa kondisi kebudayaan batak saat ini sudah mengalami kepunahan  rendahnya keinginan masyarakat adat batak untuk mempelajari dan mempertahankan budaya yang sangat berpengaruh saat ini.

"Banyak sekali budaya batak yang sangat menarik dan memang mengandung banyak makna, contohnya dalam adat batak kita biasa mengenal istilah Andung. Kebanyakan orang masih berpikiran andung adalah ekspresi kesedihan tapi maknanya lebih besar dari itu Andung adalah ekspresi seseorang melampiaskan kesedihan dan kebahagiaannya melalui tangisan dan tawa karna sesuatu yang dianggap sakral, inilah kenapa saya menjadikan andungan ibu sebagai latar belakang buku ini" ujar Tansiswo.

Sebelumnya Buku Torsa "Sonduk Hela" Karya Tansiswo yang pertama mendapat penghargaan Anugrah Sastra Budaya Tingkat Nasional 2017 sebagai penulis sastra batak terbaik yang mengangkat persoalan kehidupan masyarakat Batak termasuk kebudayaan dan bonapasogit.

Sesialia siagian yang merupakan Sastrawan (Khusus Andung) beranggapan sama bahwa saat ini kebudayaan dan bahasa ibu (Bahasa Batak-Red) sudah mulai ditinggalkan dan bukan menjadi tradisi yang harus dipertahankan dalam proses adat batak.

"Batak memiliki banyak kebudayaan didalamnya, contoh nya prosesi adat hingga hal lain dalam penyampaian doa, sebenarnya yang kita harapkan adalah dengan diluncurkannya buku ilu ni dainang ini dapat mempererat lagi kebudayaan batak yang kita miliki saat ini" ujarnya

Selanjutnya Drs, Manguji Nababan salah satu Sastrawan batak mengatakan ada beberapa hal yang menyangkut penyampaian nilai dalam buku "ilu ni dainang" yaitu Kondisi budaya batak, Sudut pandang antropologi batak Dan Tentang andung dalam cerita yang dibawakan secara melankolik, dan romantik.

"Buku ini sangat menarik, budaya adat yang dikemas dalam bentuk puisi dan torsa batak membuat kita terpukul bahwa masih banyak diantara kita yang lupa akan identitas kita sebagai orang batak, lambat laun ketika tidak ada lagi budaya, dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya maka sistem adat (gotongroyong) akan tergerus dan hilang, jadi apa lagi yang bisa diperkenalkan oleh generasi kedepan" tutur Manguji

Senada dengan itu, Dra, Flores Tanjung M.A Selaku Dosen Di Fakultas Ilmu Sosial UNIMED buku yang dikemas dengan memasukkan konteks inang sangat tepat. Kekuatan keluarga batak yang digambarkan inang (ibu-Red) dan andung dapat mengantarkan pesan yang dalam.

"Andung bukan hanya sekedar pelampiasan rasa tapi lebih mengarah kepada Tangiang (Doa-Red), dari 11 torsa yang ada dalam buku ilu ni dainang ini hampir semua bercerita bagaimana ibu mendoakan anak-anak melalui andung-andung" tutur nya.

Ia menambahkan, buku ini banyak mengandung kekuatan makna dalam barisan puisi-puisi andung dari seorang ibu.

"Kita harus sadar dan memberikan kesadaran kepada anak-anak kita untuk lebih menghargai budaya, apalagi batak tidak hanya untuk satu kalangan, kekuatan-kekuataan dari buku ini berasal dari alunan tangisan dan doa seorang ibu ini lah yang membuat buku ini menarik" tutupnya.

Tansiswo Siagian yang juga sering mengkampanyekan mengkampanyekan Budaya batak melalui Media Sosial dengan membentuk grup Palambok Pusu-pusu berharap bahwa dengan ada nya media ini setiap orang batak tetap menjaga komunikasi dan identitas sebagai orang batak.(rel)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini