Keluarga Kami Diculik, Dibunuh dan Dibakar...

Sebarkan:

‎Pengakuan Imigran Rohingya di Rudemin Belawan


Keluarga Kami Diculik, Dibunuh dan Dibakar...


Pembantaian sadis yang dialami etnis Rohingya di Negara Myanmar ‎menjadi perbincangan serius di dunia internasional.

Dibalik tragedi pembantaian masyarakat penganut agama Islam minoritas dipicu tidak diakuinya oleh negara Myanmar suku atau etnis Rohingya.

Akibatnya, para korban kekejaman pemerintah Myanmar memilih untuk kabur mencari kehidupan suaka di negara lain. Begitulah yang dirasakan para imigran yang berada di Rumah Deteksi Imigrasi (Rudenim) Belawan.

Salah satu imigran Myanmar, Muhammad Jabar mengaku sudah berada di Indonesia selama 5 tahun. Pelariannya dari Myanmar karena tidak tahan melihat kekejaman pemerintah dan militer yang melakukan kekerasan kepada warga Rohingya.

"Didepan mata saya, adik dan paman saya ditembak, ayah saya diculik dan rumah - rumah dibakar. Semua keluarga saya habis, makanya saya memilih kabur untuk pergi ke negara luar," kata Jabar di Rudenim Belawan, Senin (4/9).



Peristiwa sadis dialami keluarganya terjadi pada 5 tahun silam. Masa itu, pemerintahan Myanmar yang mayoritas dikuasai oleh agama Budha menolak suku atau etnis Rohingya di negara Myanmar.

Akibatnya, seluruh masyarakat Rohingya menjadi sasaran kekerasan dan kekejaman para militer Myanmar. "Banyak mesjid, alquran dan rumah dibakar pada masa itu, mereka cukup kejam. Kami warga Rohingya mau dihabisi oleh pemerintah," kata Jabar yang sudah mahir berbahasa Indonesia.

Dirinya bisa sampai ke Indonesia dengan cara menggunakan sampan mengarungi laut hingga menyasar ke daratan Indonesia. Kepergiannya ke Indonesia meninggalkan seorang anak dan istri yang masih hidup.

Belakangan, istrinya telah meninggal setahun lalu ditembak oleh militer Myanmar dengan membakar rumah ibu kandungnya. "Saya dengar dari teman satu negara saya, setahun lalu istri saya sudah meninggal ditembak militer, mamak, adik dan anak saya tidak tahu sekarang bagaimana. Karena rumah kami sudah habis dibakar," ungkap pria berusia 38 dengan nada sedih.

Hal senada juga diakui oleh Mussrof Husein, pria berusia 21 tahun yang sudah 9 bulan di Indonesia‎ trauma dengan kekejaman para militer Myanmar yang membantai warga Rohingya.

"Saya kabur dari Myanmar, karena rumah dan semua keluarga saya dibunuh. Sebelumnya, saya sudah berada di Malaysia 3 tahun, belakangan ini saya coba mencari kerja kabur ke Indonesia," kata Mussrof.

Dikatakan Mussrof, seluruh warga Rohingya yang berada di Myanmar mengalami pembantaian sadis. Mereka sangat mengharapkan perhatian dunia untuk keselamatan warga dan keluarga mereka yang masih berada di Myanmar.

"Ini sudah lama terjadi, saudara - saudara kami bakal terus disiksa dan dibunuh. Militer Myanmar sangat kejam, kami tahu apa yang meresakan disana, mereka pasti terancam dan tersiksa," ungkap Mussrof.


Tak Ingin Pulang ke Myanmar


Pembantaian dan kekejaman yang terus menerus dilakukan pemerintahan Mynamar, menjadi trauma bagi kalangan imigran Rohingya Myanmar di Rudenim Belawan.

Begitulah yang dikatakan Muhammad Jabar. Dirinya memilih hidup di dalam penjara dari pada hidup di Myanmar dengan kondisi tersiksa. "Kamu tak mau pulang ke Myanmar, kami lebih baik hidup seperti ini," ungkap Jabar.

Harapan Jabar yang mewakili sebanyak 27 imigran Rohingya Myanmar ini, mereka lebih baik menjadi warga negara lain yang bisa diakui oleh pemerintah.

"Kami sangat berharap pemerintah Indonesia bisa memberikan kamu kehidupan dan mengakui menjadi warga negara, agar kami bisa bekerja dan berkeluarga," harap pria yang hidup sebatang kara ini.

Disinggung dengan adanya peristiwa yang belakangan ini terjadi, Jabar mengaku sangat sedih dengan penderitaan saudara - saudara mereka. Bahkan, dia yakin pemerintah Myanmar akan terus membantai etnis Rohingya di Myanmar.

"Kami sebenarnya adalah bagian dari pemerintahan Myanmar, nenek moyang kami sudah ada 900 tahun lalu di Myanmar. Cuma, kami Rohingya muslim tidak diakui dan bakal terus dibunuh. Jadi, apa yang terjadi saat ini merupakan kejadian yang sama pada masa kami kabur dari Myanmar," cerita Jabar.

Terpisah, Kepala Rudemin Belawan, Abdul Karim SH, MH mengatakan, adanya isu yang sedang hangat mengenai pembantai warga Rohingya tidak mempengaruhi psikologis bagi penghuni Rohingya di Rudemin Belawan.

"Mereka tahu ada peristiwa yang terjadi di negara mereka, tapi kita terus memberikan terapi dan pemahaman secara psikologis melalui lembaga IOM yang datang berjumpa dengan para imigran," kata Abdul Karim.

Dijelaskan Abdul Karim, di Rudenim Belawan ada sebanyak 27 imigran Rohingya Myanmar. Mereka dapat berbaur dengan para imigran lain dan tidak pernah melakukan tindakan diluar akal sehat.

"Untuk saat ini, tidak ada masalah khusunya bagi warga Rohingya Myanmar. Kita terus melakukan pengawasan dan memberikan pencerahan dengan pelatihan sosial, seni, penidikan dan olah raga,‎" jelas Abdul Karim.

Ditanya jumlah seluruh penghuni di Rudenim Belawan dan apakah ada perselisihan atau kendala yang terjadi, Abdul Karim mengatakan, ada sebanyak 309 penghuni imigran dari berbagai negara seperti Srilangka, Myanmar, Somalia, Pakistan dan Palestina.

"Seluruh imigran yang berada di Rudenim dapat berbaur dan bersosialisasi dengan baik, jadi, selama ini tidak ada perselisihan atau tekanan mental yang mereka hadapi," jelas Abdul Karim di ruang kerjanya. (mu-1)
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini