Gara-gara Putusan Kontroversi, PN Lubukpakam Dilapor ke KY, Komnas HAM & Presiden

Sebarkan:


Meri Cristina Sembiring (41) ibu kandung dari almarhum Febriani Gurusinga (14) yang merupakan korban cabul, terlihat seperti orang linglung pasca Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam memvonis bebas terdakwa Abdi Suranta Ginting (26) pada persidangan yang digelar pada Rabu (23/8) lalu.

Untuk mengungkapkan protes dan kekesalannya terhadap putusan yang tidak berkeadilan itu, wanita beranak empat yang menetap di Dusun I, Desa Bekukul, Kecamatan Namorambe menjumpai sejumlah wartawan di Lubuk Pakam pada Jumat (25/8).

Wajah Meri masih kelihatan lusuh dan lemah. Harapannya agar pelaku pencabulan terhadap anaknya mendapat hukuman yang setimpal hanya mimpi saja. Vonis bebas itupun menambah deretan luka yang dialami Meri.

Sebab, sepekan setelah peristiwa pencabulan itu, korban yang masih duduk dibangku kelas I SMP itu mengakhiri hidupnya dengan cara menenggak racun. "Anak ku minum racun karena malu dengan aib yang terjadi padanya. Anak ku dicabuli pada Selasa (7/6/2017) lalu dan meninggal dunia pada tanggal 15Juni 2017 lalu,” ujarnya seraya meneteskan air mata.

Kekesalan Meri pun bukan hanya sampai disitu saja. Dalam waktu dekat, Meri akan membuat laporan secara tertulis kepada Komisi Yudisial, Komnas HAM, bahkan bila perlu akan mengadukan vonis bebas itu kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.

"Kalau terus begini putusan PN Lubuk Pakam, orang miskin tidak dapat keadilan. Gimana kalau keluarga majelis hakim yang memvonis bebas itu mengalami hal seperti ini? Apakah akan dibebaskan juga? Dengan bebasnya terdakwa yang mencabuli anak ku maka akan membuat pelaku lain tidak akan jera mencabuli anak dibawah umur dan mungkin pelaku lain bermunculan dan merajalela,” kesalnya.

Jaksa Penuntut Umum Rahmaniar SH kepada wartawan menegaskan akan melakukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung RI. "kita sudah pasti kasasi karena terdakwa kita tuntut dengan hukuman 13 tahun penjara,” tegasnya.

Terpisah, Humas PN Lubuk Pakam Halida Rahardhini SH kepada wartawan membenarkan ada putusan bebas terhadap terdakwa. Menurutnya, musyawarah dilaksanakan secara bulat, majelis hakim memperhatikan tiga hal yaitu legal justice, sosial justice dan keyakinan. Berdasarkan legal justice tidak terpenuhi dua alat bukti minimal untuk membuktikan dakwaan penuntut umum. Tidak ada saksi yang melihat atau yang dapat memberi petunjuk yang mengatakan bahwa terdakwa telah melakukan bujuk rayu ataupun kekerasan yang berujung bersetubuh kepada korban.

Lanjutnya, yang ada hanya visum dan atas visum itu dokter telah dihadirkan dipersidangan dan mengatakan bahwa itu luka lama. Lalu dilihat sosial justice dari kehidupan saksi korban dengan usia 14 tahun saksi korban sering mabuk dan kalau sakit kepala sering minum obat sampai satu papan sehingga korban fly.

Dimana saat sedang mabuk, korban pernah mengatakan kalau teman prianya atas nama Parlindungan adalah suaminya. Bahkan korban pernah bentak-bentak Parlindungan untuk bertanggungjawab dan paman saksi korban pernah melihat pada suatu malam saksi korban berada dalam sebuah kamar dengan Azhar.

"Nama terdakwa hanya disebutkan saksi korban pada saat korban meregang nyawa. Jadi saksi yang dihadirkan hanya yang mendengar dari saksi korban saja. Jadi berdasarkan legal justice dihubungan dengan sosial justice dan diakhiri dengan keyakinan maka hakim menyimpulkan dari visum diketahui bahwa ada perbuatan persetubuhan yang dialami saksi korban akan tetapi tidak dibuktikan bahwa terdakwalah yang melakukan persetubuhan itu,” tegasnya. (walsa)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini